Para alim-ulama berkata: "Mengerjakan taubat itu hukumnya wajib dari segala macam dosa. Jikalau kemaksiatan itu terjadiantara seorang hamba dan antara Allah Ta'ala saja, yakni tidak ada hubungannya dengan hak seorang manusia yang lain, maka untuk bertaubat itu harus menetapi tiga macam syarat, yaitu: Pertama hendaklah menghentikan sama sekali -seketika itu juga- dari kemaksiatan yang dilakukan, kedua ialah supaya merasa menyesal karena telah melakukan kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya. Apabila kemaksiatan itu ada hubungannya dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam, yaitu tiga syarat yang tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepaskan tanggungan itu dari hak kawannya. Maka jikalau tanggungan itu berupa harta atau yang semisal dengan itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak tadi, jikalau berupa dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan daripada kawannya dan jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat olehnya. Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam dosa, tetapi jikalau seseorang itu bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya itupun sah dari dosa yang dimaksudkan itu, demikian pendapat para alim-ulama yang termasuk golongan ahlul haq, namun saja dosa-dosa yang lain-lainnya masih tetap ada dan tertinggal - yakni belum lagi ditaubati. Sudah jelaslah dalil-dalil yang tercantum dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma' seluruh umat perihal wajibnya mengerjakan taubat itu.
Allah Ta'ala
berfirman: "Dan bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang
Mu'min, supaya engkau semua memperoleh kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala
berfirman lagi: "Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah
kepadaNya." (Hud: 3)
Dan lagi firmanNya:
"Hai sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
nashuha -yakni yang sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8)
Keterangan:
Taubat nashuha itu
wajib dilakukan dengan memenuhi tiga macam syarat sebagaimana di bawah ini,
yaitu:
-
Semua hal-hal yang mengakibatkan terkena siksa, karena berupa perbuatan dosa jika dikerjakan, wajib ditinggalkan secara sekaligus dan tidak diulangi lagi.
-
Bertekad bulat dan teguh untuk memurnikan serta membersihkan diri sendiri dari semua perkara dosa tadi tanpa bimbang dan ragu-ragu.
-
Segala perbuatannya jangan dicampuri apa-apa yang mungkin dapat mengotori atau sebab-sebab yang menjurus ke arah dapat merusakkan taubatnya itu.
13. Dari Abu
Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Demi Allah,
sesungguhnya saya itu memohonkan pengampunan kepada Allah serta bertaubat
kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
14. Dari Aghar bin
Yasar al-Muzani r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai sekalian manusia,
bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah pengampunan daripadaNya, karena
sesungguhnya saya ini bertaubat dalam sehari seratus kali." (Riwayat Muslim)
15. Dari Abu Hamzah
yaitu Anas bin Malik al-Anshari r.a., pelayan Rasulullah s.a.w., katanya:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat
hambaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang jatuh di atas
untanya dan oleh Allah ia disesatkan di suatu tanah yang luas." (Muttafaq
'alaih)
Dalam riwayat
Muslim disebutkan demikian: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat
hambaNya ketika ia bertaubat kepadaNya daripada gembiranya seorang dari engkau
semua yang berada di atas kendaraannya -yang dimaksud ialah untanya- dan berada
di suatu tanah yang luas, kemudian kehilangan kendaraannya itu dari dirinya,
sedangkan di situ ada makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa.
Kemudian ia mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya,
sedang hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut.
Tiba-tiba di kala ia berkeadaan sebagaimana di atas itu, kendaraannya itu tampak
berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat gembiranya maka
ia berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu". Ia menjadi
salah ucapannya karena amat gembiranya."
Keterangan:
Jadi kegembiraan
Allah Ta'ala di kala mengetahui ada hambaNya yang bertaubat itu adalah lebih
sangat dari kegembiraan orang yang tersebut dalam cerita di atas itu.
16. Dari Abu Musa
Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya
Allah Ta'ala itu membeberkan tanganNya -yakni kerahmatanNya- di waktu malam
untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga
membeberkan tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat
kesalahan di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari
dari arah barat -yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, karena setelah ini
terjadi, tidak diterima lagi taubatnya seorang." (Riwayat Muslim)
17. Dari Abu
Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa bertaubat
sebelum matahari terbit dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang
itu." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Uraian dalam hadits
di atas sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran al-Karim, surat Nisa', ayat 18
yang berbunyi: "Taubat itu tidaklah diterima bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan, sehingga di kala salah seorang dari mereka itu telah didatangi
kematian -sudah dekat ajalnya dan ruhnya sudah di kerongkongan- tiba-tiba ia
mengatakan: "Aku sekarang bertaubat."
18. Dari Abu Abdur
Rahman yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma dari Nabi
s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah 'Azzawajalla itu menerima taubatnya
seorang hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya -yakni ketika akan
meninggal dunia." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini
adalah hadits hasan.
19. Dari Zir bin
Hubaisy, katanya: "Saya mendatangi Shafwan bin 'Assal r.a. perlu menanyakan soal
mengusap dua buah sepatu khuf (but). Shafwan berkata: "Apakah yang menyebabkan
engkau datang ini, hai Zir?" Saya menjawab: "karena ingin mencari ilmu
pengetahuan." Ia berkata lagi: "Sesungguhnya para malaikat itu sama meletakkan
sayap-sayapnya -yakni berhenti terbang dan ingin pula mendengarkan ilmu atau
karena tunduk menghormat- kepada orang yang menuntut ilmu, karena ridha dengan
apa yang dicarinya." Saya berkata: "Sebenarnya saya sudah tergerak dalam hatiku
akan mengusap di atas dua buah sepatu khuf itu sehabis buang air besar atau
kecil. Engkau adalah termasuk salah seorang sahabat Nabi s.a.w., maka dari itu
saya datang ini untuk menanyakannya kepadamu. Apakah engkau pernah mendengar
beliau s.a.w. menyebutkan persoalan mengusap sepatu khuf itu daripadanya?"
Shafwan menjawab: "Ya pernah. Rasulullah s.a.w. menyuruh kita semua, jikalau
kita sedang dalam berpergian, supaya kita jangan melepaskan sepatu khuf kita
selama tiga hari dengan malamnya sekali, kecuali jikalau kita terkena janabah,
tetapi kalau hanya karena membuang air besar atau kecil atau karena sehabis
tidur, tidak perlu dilepaskan." Saya berkata lagi: "Apakah engkau pernah
mendengar beliau s.a.w. menyebutkan persoalan cinta?" Dia menjawab: "Ya pernah.
Pada suatu ketika kita bersama dengan Rasulullah s.a.w. dalam berpergian. Di
kala kita berada di sisinya itu, tiba-tiba ada seorang a'rab (orang Arab dari
pegunungan) memanggil beliau itu dengan suara yang keras sekali, katanya: "Hai
Muhammad." Rasulullah s.a.w. menjawabnya dengan suara yang sekeras suaranya itu
pula: "Mari kemari". Saya berkata pada orang a'rab tadi: "Celaka engkau ini,
perlahankanlah suaramu, sebab engkau ini benar-benar ada di sisi Nabi s.a.w.,
sedangkan aku dilarang semacam ini -yakni bersuara keras-keras di hadapannya-."
Orang a'rab itu berkata: "Demi Allah, saya tidak akan memperlahankan suaraku."
Kemudian ia berkata kepada Nabi s.a.w.: "Ada orang mencintai sesuatu golongan,
tetapi ia tidak dapat menyamai mereka -dalam hal amal perbuatannya serta cara
mencari kesempurnaan kehidupan dunia dan akhiratnya." Nabi s.a.w. menjawab:
"Seseorang itu dapat menyertai orang yang dicintai olehnya besok pada hari
kiamat." Tidak henti-hentinya beliau memberitahukan apa saja kepada kita,
sehingga akhirnya menyebutkan bahwa di arah barat itu ada sebuah pintu yang
perjalanan luasnya yakni sekiranya seorang yang berkendaraan berjalan hendak
menempuh jarak luasnya itu, maka jarak antara dua ujung pintu tadi adalah sejauh
empat puluh atau tujuh puluh tahun." Salah seorang yang meriwayatkan hadits ini
yaitu Sufyan mengatakan: "Di arah Syam pintu itu dijadikan oleh Allah Ta'ala
sejak hari Dia menciptakan semua langit dan bumi, senantiasa terbuka untuk
taubat, tidak pernah ditutup sehingga terbitlah matahari dari sebelah barat
yakni dari dalam pintu tadi." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lain-lainnya
dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih.
20. Dari Abu Said,
yaitu Sa'ad bin Sinan al-Khudri r.a. bahwasanya Nabiyullah s.a.w. bersabda: "Ada
seorang lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh sembilan puluh
sembilan manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari
penduduk bumi, lalu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. Iapun mendatanginya dan
selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan
manusia, apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak
dapat." Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia telah
menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu ia bertanya
lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian ditunjukkan pada
seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah
membunuh seratus manusia, apakah masih diterima taubatnya. Orang alim itu
menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara dirinya
dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah begini-begini, sebab di situ ada
beberapa kelompok manusia yang sama menyembah Allah Ta'ala, maka menyembahlah
engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan mereka dan janganlah engkau kembali
ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk." Orang itu terus
pergi sehingga di waktu ia telah sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia
didatangi oleh kematian. Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang
tadi malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan -yakni yang bertugas memberikan
kerahmatan dan bertugas memberikan siksa-, malaikat kerahmatan berkata: "Orang
ini telah datang untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah
Ta'ala." Malaikat siksaan berkata: "Bahwasanya orang ini sama sekali belum
pernah melakukan kebaikan sedikitpun." Selanjutnya ada seorang malaikat yang
mendatangi mereka dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai
pemisah antara malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim
pemutusnya -untuk menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua
antara dua tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini
adalah untuknya- maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau
lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan."
Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut adalah
lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk melaksanakan
taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat kerahmatan."
(Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah
riwayat yang shahih disebutkan demikian: "Orang tersebut lebih dekat sejauh
sejengkal saja pada pedesaan yang baik itu- yakni yang hendak didatangi, maka
dijadikanlah ia termasuk golongan penduduknya." Dalam riwayat lain yang shahih
pula disebutkan: Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini -tempat
asalnya- supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini -tempat yang hendak
dituju- supaya engkau mendekat -maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang
sehingga kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut
sehingga kalau diukur menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: "Ukurlah
antara keduanya." Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini
-yang dituju- adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang
itupun diampunilah dosa-dosanya." Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Orang
tersebut bergerak -amat susah payah karena hendak mati- dengan dadanya ke arah
tempat yang dituju itu."
Keterangan:
Uraian hadits ini
menjelaskan perihal lebih utamanya berilmu pengetahuan dalam seluk-beluk agama,
apabila dibandingkan dengan terus beribadah tanpa mengetahui bagaimana yang
semestinya dilakukan. Juga menjelaskan perihal keutamaan 'uzlah atau
mengasingkan diri di saat keadaan zaman sudah bisa dikatakan rusak binasa dan
kemaksiatan serta kemungkaran merajalela di mana-mana.
21. Dari Abdullah
bin Ka'ab bin Malik dan ia -yakni Abdullah- adalah pembimbing Ka'ab r.a. dari
golongan anak-anaknya ketika Ka'ab -yakni ayahnya itu- sudah buta matanya,
katanya: "Saya mendengar Ka'ab bin Malik r.a. menceritakan perihal peristiwanya
sendiri ketika membelakang -artinya tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam
peperangan Tabuk." Ka'ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang -tidak
mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam suatu peperanganpun kecuali dalam peperangan
Tabuk. Hanya saja saya juga pernah tidak mengikuti dalam peperangan Badar,
tetapi beliau s.a.w. tidak mengolok-olokkan seorangpun yang tidak mengikutinya
itu - yakni Badar. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. keluar bersama kaum Muslimin
menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Ta'ala mengumpulkan antara
mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak ditentukan. Saya juga ikut
menyaksikan bersama Rasulullah s.a.w. di malam 'aqabah di waktu kita berjanji
saling memperkokohkan Islam dan saya tidak senang andaikata tidak mengikuti
malam 'aqabah itu sekalipun umpamanya saya ikut menyaksikan peperangan Badar dan
sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu lebih termasyhur sebutannya di
kalangan para manusia daripada malam 'aqabah tadi. Perihal keadaanku ketika saya
tidak mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk ialah bahwa saya
sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku
sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah
mengumpulkan dua buah kendaraan sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang
untuk peperangan ini saya dapat mengumpulkan keduanya. Tidak pula Rasulullah
s.a.w. itu menghendaki suatu peperangan, melainkan tentu beliau berniat pula
dengan peperangan yang berikutnya sehingga sampai terjadinya peperangan Tabuk.
Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu dalam keadaan panas yang
sangat dan menghadapi suatu perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah yang
sukar memperoleh air dan tentulah pula akan menghadapi musuh yang jumlahnya amat
besar sekali. Beliau s.a.w. kemudian menguraikan maksudnya itu kepada seluruh
kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap
untuk menyediakan perbekalan peperangan mereka. Beliau s.a.w. memberitahukan
pada mereka dengan tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang menyertai
Rasulullah s.a.w. itu banyak sekali, tetapi mereka itu tidak terdaftarkan dalam
sebuah buku yang terpelihara." Yang dimaksud oleh Ka'ab ialah adanya buku
catatan yang berisi daftar mereka itu. Ka'ab berkata: "Maka sedikit sekali orang
yang ingin untuk tidak menyertai peperangan tadi, melainkan ia juga menyangka
bahwa dirinya akan tersamarkan, selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah
Ta'ala -maksudnya karena banyaknya orang yang mengikuti, maka orang yang berniat
tidak mengikuti tentu tidak akan diketahui oleh siapapun sebab catatannyapun
tidak ada-. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu di kala
buah-buahan sedang enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya sedang
nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali pada buah-buahan serta naungan itu.
Rasulullah s.a.w. bersiap-siap dan sekalian kaum Muslimin juga demikian. Saya
mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula dengan beliau, tetapi saya lalu mundur
lagi dan tidak ada sesuatu urusanpun yang saya selesaikan, hanya dalam hati saya
berkata bahwa saya dapat sewaktu-waktu berangkat jikalau saya menginginkan. Hal
yang sedemikian itu selalu saja mengulur-ulurkan waktu persiapanku, sehingga
orang-orang giat sekali untuk mengadakan perbekalan mereka, sedangkan saya
sendiri belum ada persiapan sedikitpun. Kemudian saya pergi lagi lalu kembali
pula dan tidak pula ada sesuatu urusan yang dapat saya selesaikan. Keadaan
sedemikian ini terus-menerus menyebabkan saya mengulur-ulurkan waktu
keberangkatanku, sehingga orang-orang banyak telah bergegas-gegas dan majulah
mereka yang hendak mengikuti peperangan itu. Saya bermaksud akan berangkat
kemudian dan selanjutnya tentu dapat menyusul mereka yang berangkat lebih dulu.
Alangkah baiknya sekiranya maksud itu saya laksanakan, tetapi kiranya yang
sedemikian tadi tidak ditakdirkan untuk dapat saya kerjakan. Dengan begitu maka
setiap saya keluar bertemu dengan orang-orang banyak setelah berangkatnya
Rasulullah s.a.w. itu, keadaan sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku,
karena saya mengetahui bahwa diriku itu hanyalah sebagai suatu tuntunan -contoh-
yang dapat dituduh melakukan kemunafikan atau hanya sebagai seorang yang
dianggap beruzur oleh Allah Ta'ala karena termasuk golongan kaum yang lemah
-tidak kuasa mengikuti peperangan. Rasulullah s.a.w. kiranya tidak mengingat
akan diriku sehingga beliau datang di Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di
kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba bertanya: "Apa yang dilakukan oleh Ka'ab
bin Malik?" Seorang dari golongan Bani Salimah menjawab: "Ya Rasulullah, ia
ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya yang permai
pandangannya." Kemudian Mu'az bin Jabal r.a. berkata: "Buruk sekali yang kau
katakan itu. Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka'ab
itu kecuali yang baik-baik saja." Rasulullah s.a.w. berdiam diri. Ketika beliau
s.a.w. dalam keadaan seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan
pakaian serba putih yang digerak-gerakkan oleh fatamorgana -sesuatu yang tampak
semacam air dalam keadaan yang panas terik di padang pasir- Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Engkaukah Abu Khaitsamah?" Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah
al-Anshari dan ia adalah yang pernah bersedekah dengan sesha' kurma ketika
dicaci oleh kaum munafikin. Ka'ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita yang
sampai di telingaku bahwa Rasulullah s.a.w. telah menuju -pulang- kembali dengan
kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai
mengingat-ingat bagaimana sekiranya saya berdusta -untuk mengada-adakan alasan
tidak mengikuti peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya
dapat keluar -terhindar- dari kemurkaannya besok sekiranya beliau telah tiba.
Sayapun meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan
setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah
diberitahukan bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari
jiwaku -yakni keinginan akan berdusta itu- sehingga saya mengetahui bahwa saya
tidak dapat menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun
untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan
secara sebenarnya belaka. Rasulullah s.a.w. itu apabila datang dari perjalanan,
tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian bershalat dua rakaat, kemudian
duduk di hadapan orang banyak. Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu,
maka datanglah padanya orang-orang yang membelakang -tidak mengikuti peperangan-
untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam mengemukakan
alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada delapan puluh lebih
-tiga sampai sembilan. Beliau s.a.w. menerima alasan-alasan yang mereka
kemukakan secara terus terang itu, juga membai'at -meminta janji setia- mereka
serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang tersimpan dalam
hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah Ta'ala. Demikianlah sehingga
sayapun datanglah menghadap beliau s.a.w. itu. Setelah saya mengucapkan salam
padanya, beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang murka, kemudian
bersabda: "Kemarilah!" Saya mendatanginya sambil berjalan sehingga saya duduk di
hadapannya, kemudian beliau s.a.w. bertanya padaku: "Apakah yang menyebabkan
engkau tertinggal, bukankah engkau telah membeli unta untuk kendaraanmu?" Ka'ab
berkata: "Saya lalu menjawab: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah,
andaikata saya duduk di sisi selain Tuan dari golongan ahli dunia, sesungguhnya
saya berpendapat bahwa saya akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan
mengemukakan suatu alasan. Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam
bercakap-cakap. Tetapi saya ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa
andaikata saya memberitahukan kepada Tuan dengan suatu cerita bohong pada hari
ini yang Tuan akan merasa rela dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah
hampir-hampir akan memurkai Tuan karena perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya
memberitahukan kepada Tuan dengan cerita yang sebenarnya yang dengan demikian
itu Tuan akan murka atas diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah
menginginkan keakhiran yang baik dari Allah 'Azzawajalla. Demi Allah, saya tidak
beruzur sedikitpun -sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama
sekali saya belum merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk
mengikutinya itu, yakni di waktu saya membelakang daripada Tuan -sehingga jadi
tidak ikut berangkat." Ka'ab berkata: "Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: Tentang
orang ini, maka pembicaraannya memang benar -tidak berdusta. Oleh sebab itu
bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang
dirimu." Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan mengikuti
jejakku, mereka berkata: "Demi Allah, kita tidak menganggap bahwa engkau telah
pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini. Engkau
agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja kepada
Rasulullah s.a.w. sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang yang
tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk
menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah s.a.w. suka memohonkan pengampunan
kepada Allah untukmu. Ka'ab berkata: "Demi Allah, tidak henti-hentinya
orang-orang itu mengolok-olokkan diriku -karena menggunakan cara yang dilakukan
sebagaimana di atas yang telah terjadi itu- sehingga saya sekali hendak kembali
saja kepada Rasulullah s.a.w.- untuk mengikuti cara orang-orang Bani Salimah
itu, agar saya mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata kepada
orang-orang itu: "Apakah ada orang lain yang menemui peristiwa sebagaimana hal
yang saya temui itu?" Orang-orang itu menjawab: "Ya, ada dua orang yang menemui
keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan lalu
terhadap keduanya itupun diucapkan -oleh Rasulullah s.a.w.- sebagaimana
kata-kata yang diucapkan padamu." Ka'ab berkata: "Siapakah kedua orang itu?"
Orang-orang menjawab: "Mereka itu ialah Murarah bin Rabi'ah al-'Amiri dan Hilal
bin Umayyah al-Waqifi." Ka'ab berkata: "Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di
mukaku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang shahih dan juga benar-benar ikut
menyaksikan peperangan Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh -dalam
keberanian dan lain-lain." Ka'ab berkata: "Saya pun lalu terus pergi di kala
mereka telah selesai menyebut-nyebutkan tentang kedua orang tersebut di atas di
mukaku. Rasulullah s.a.w. melarang kita -kaum Muslimin- untuk bercakap-cakap
dengan ketiga orang diantara orang-orang yang sama membelakang -tidak mengikuti
perjalanan- beliau itu." Ka'ab berkata: "Orang-orang sama menjauhi kita," dalam
riwayat lain ia berkata: "Orang-orang sama berubah sikap terhadap kita bertiga,
sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan diriku, maka
seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya. Kita bertiga
berhal -berkeadaan- demikian itu selama lima puluh malam -dengan harinya. Adapun
dua kawan saya, maka keduanya itu menetap saja dan selalu duduk-duduk di
rumahnya sambil menangis. Tentang saya sendiri, maka saya adalah yang termuda di
kalangan kita bertiga dan lebih tahan -mendapatkan ujian. Oleh sebab itu sayapun
keluar serta menyaksikan shalat jamaah bersama kaum Muslimin lain-lain dan juga
suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tidak seorangpun yang mengajak bicara
padaku. Saya pernah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan mengucapkan salam padanya
dan beliau ada di majlisnya sehabis shalat, kemudian saya berkata dalam hatiku,
apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah
tidak. Selanjutnya saya bershalat dekat sekali pada tempatnya itu dan saya
mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya mulai mengerjakan shalat,
beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh padanya, beliaupun lalu
memalingkan mukanya dari pandanganku. Demikian halnya, sehingga setelah terasa
amat lama sekali penyeteruan kaum Muslimin itu terhadap diriku, lalu saya
berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu Qatadah. Ia adalah
anak pamanku -jadi sepupunya- dan ia adalah orang yang tercinta bagiku diantara
semua orang. Saya memberikan salam padanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab
salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: "Hai Abu Qatadah, saya hendak
bertanya padamu karena Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya ini mencintai
Allah dan RasulNya s.a.w.?" Ia diam saja, lalu saya ulangi lagi dan bertanya
sekali iagi padanya, iapun masih diam saja. Akhirnya saya ulangi lagi dan saya
menanyakannya sekali lagi, lalu ia berkata: "Allah dan RasulNya yang lebih
mengetahui tentang itu." Oleh sebab jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku
dan saya meninggalkannya sehingga saya menaiki dinding rumah tadi. Di kala saya
berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada seorang petani dari golongan petani negeri
Syam (Palestina), yaitu dari golongan orang-orang yang datang dengan membawa
makanan yang hendak dijualnya di Madinah, lalu orang itu berkata: "Siapakah yang
suka menunjukkan, manakah yang bernama Ka'ab bin Malik." Orang-orang lain sama
menunjukkannya kearahku, sehingga orang itupun mendatangi tempatku, kemudian
menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan -yang beragama Kristen. Saya memang
orang yang dapat menulis, maka surat itupun saya baca, tiba-tiba isinya adalah
sebagai berikut: "Amma ba'd. Sebenarnya telah sampai berita pada kami bahwa
sahabatmu -yakni Muhammad s.a.w.- telah menyeterumu. Allah tidaklah menjadikan
engkau untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan
hak-haknya. Maka dari itu susullah kami -maksudnya datanglah di tempat kami-
maka kami akan menggembirakan hatimu." Kemudian saya berkata setelah selesai
membacanya itu: "Ah, inipun juga termasuk bencana pula," lalu saya menuju ke
dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya. Selanjutnya setelah
lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh hari, sedang waktu
agak terlambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku seorang utusan dari
Rasulullah s.a.w., terus berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan
padamu supaya engkau menyendirikan -menjauhi- istrimu." Saya bertanya: "Apakah
saya harus menceraikannya atau apakah yang harus saya lakukan?" Ia berkata:
"Tidak usah menceraikan, tetapi menyendirilah daripadanya, jadi jangan
sekali-kali engkau mendekatinya." Rasulullah s.a.w. juga mengirimkan utusan
kepada kedua sahabat saya -yang senasib di atas- sebagaimana yang dikirimkannya
padaku. Oleh sebab itu lalu saya berkata pada istriku: "Susullah dulu keluargamu
-maksudnya pergilah ke tempat kedua orang tuamu. Beradalah di sisi mereka
sehingga Allah akan menentukan bagaimana kelanjutan peristiwa ini." Istri Hilal
bin Umayyah mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu berkata pada beliau: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya
sebatang kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah Tuan juga tidak senang
andaikata saya tetap melayaninya?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak, tetapi jangan
sekali-kali ia mendekatimu -jangan berkumpul seketiduran denganmu." Istrinya
berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu demi Allah, sudah tidak mempunyai gerak
sama sekali pada sesuatupun dan demi Allah, ia senantiasa menangis sejak
terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini." Sebagian keluargaku berkata
padaku: "Alangkah baiknya sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah s.a.w.
dalam persoalan istrimu itu. Rasulullah s.a.w. juga telah mengizinkan kepada
istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya." Saya berkata: "Saya tidak akan
meminta izin untuk istriku itu kepada Rasulullah s.a.w., saya pun tidak tahu
bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. sekiranya saya
meminta izin pada beliau perihal istriku itu -yakni supaya boleh tetap melayani
diriku? Saya adalah seorang yang masih muda." Saya tetap berkeadaan sebagaimana
di atas itu -tanpa istri- selama sepuluh malam dengan harinya sekali maka telah
genaplah jumlahnya menjadi lima puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang
bercakap-cakap dengan kita. Selanjutnya saya bershalat Subuh pada pagi hari
kelima puluh itu di muka rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di
kala saya sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah Ta'ala perihal
diri kita itu -yakni ketika kami bertiga sedang dikucilkan, jiwaku terasa amat
sempit sedang bumi yang luas terasa amat kecil, tiba-tiba saya mendengar suara
teriakan seorang yang berada di atas gunung Sala'- sebuah gunung di Madinah, ia
berkata dengan suaranya yang amat keras: "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah."
Segera setelah mendengar itu, sayapun bersujud -syukur- dan saya meyakinkan
bahwa telah ada kelapangan yang datang untukku. Rasulullah s.a.w. telah
memberitahukan pada orang-orang banyak bahwa taubat kita bertiga telah diterima
oleh Allah 'Azzawajalla, yaitu di waktu beliau bershalat Subuh. Maka
orang-orangpun menyampaikan berita gembira itu pada kita dan ada pula
pembawa-pembawa kegembiraan itu yang mendatangi kedua sahabatku -yang senasib.
Ada seorang yang dengan cepat-cepat melarikan kudanya serta bergegas-gegas
menuju ke tempatku dari golongan Aslam - namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia
menaiki gunung dan suaranya itu kiranya lebih cepat terdengar olehku daripada
datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang padaku yakni orang yang kudengar
suaranya tadi, iapun memberikan berita gembira padaku, kemudian saya melepaskan
kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk dipakai, sebagai hadiah dari
berita gembira yang disampaikannya itu. Demi Allah, saya tidak mempunyai pakaian
selain keduanya tadi pada hari itu. Maka sayapun meminjam dua buah baju -dari
orang lain- dan saya kenakan lalu berangkat menuju ke tempat Rasulullah s.a.w.
Orang-orang sama menyambut kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok
menyatakan ikut gembira padaku sebab taubatku yang telah diterima. Mereka
berkata: "Semoga gembiralah hatimu karena Allah telah menerima taubatmu itu."
Demikian akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah s.a.w. sedang duduk
dan di sekelilingnya ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah r.a. lalu
berdiri cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas
diriku. Demi Allah tidak ada seorangpun dari golongan kaum Muhajirin yang
berdiri selain Thalhah itu. Oleh sebab itu Ka'ab tidak akan melupakan peristiwa
itu untuk Thalhah. Ka'ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam kepada
Rasulullah s.a.w. beliau tampak berseri-seri wajahnya karena gembiranya lalu
bersabda: "Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang pernah engkau
alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya: "Apakah itu datangnya
dari sisi Tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?" Beliau s.a.w.
menjawab: "Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah 'Azzawajalla".
Rasulullah s.a.w. itu apabila gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah,
seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh bulan, kita semua mengetahui hal itu.
Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu berkata: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu ialah saya hendak melepaskan sebagian
hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan RasulNya." Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tahanlah untukmu sendiri sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang sedemikian
itu adalah lebih baik." Saya menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku
yang ada di tanah Khaibar." Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata benar, maka
sebagai tanda taubatku pula ialah bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang
sebenarnya saja selama kehidupanku yang masih tertinggal." Demi Allah, belum
pernah saya melihat seorangpun dari kalangan kaum Muslimin yang diberi cobaan
oleh Allah Ta'ala dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak saya
menyebutkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. yang jadinya lebih baik dari yang
telah dicobakan oleh Allah Ta'ala pada diriku sendiri. Demi Allah, saya tidak
bermaksud akan berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada Rasulullah
s.a.w. sampai pada hariku ini dan sesungguhnya sayapun mengharapkan agar Allah
Ta'ala senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang
masih tertinggal untukku." Ka'ab berkata; "Kemudian Allah Ta'ala menurunkan
wahyu yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah menerima taubatnya Nabi, kaum
Muhajirin dan Anshar yang mengikutinya -ikut berperang- dalam masa kesulitan
-sampai di firmanNya yang artinya [6]; Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Penyantun lagi
Penyayang kepada mereka. Juga Allah telah menerima taubat tiga orang yang
ditinggalkan di belakang, sehingga terasa sempitlah bagi mereka bumi yang
terbentang luas ini -sampai di firmanNya yang artinya- Bertaqwalah kepada Allah
dan hendaklah engkau semua bersama orang-orang yang benar." (at- Taubah:
117-119) Ka'ab berkata: "Demi Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan
padaku sama sekali setelah saya memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk
Agama Islam ini, yang kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi
perkataan benarku yang saya sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., sebab saya tidak
mendustainya, sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana
kerusakan yang dialami oleh orang-orang yang berdusta -maksudnya ialah kerusakan
agama bagi dirinya, akhlak dan lain-lain. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah
berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu
suatu kata-kata terburuk yang pernah diucapkan kepada seorang. Allah Ta'ala
berfirman yang artinya: "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah,
ketika engkau kembali kepada mereka, supaya engkau dapat membiarkan mereka.
Sebab itu berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnya mereka itu kotor dan
tempatnya adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang mereka
lakukan. Mereka bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada mereka,
tetapi biarpun engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak senang
kepada kaum yang fasik itu." (at- Taubah: 95-96) Ka'ab berkata: "Kita semua
bertiga ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang
yang diterima oleh Rasulullah s.a.w. perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu
ketika mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka
supaya setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah s.a.w.
telah mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga Allah memberikan keputusan
dalam peristiwa tersebut." Allah Ta'ala berfirman: "Dan juga kepada tiga orang
yang ditinggalkan." Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan firmanNya
"Tiga orang yang ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari peperangan,
tetapi Rasulullah s.a.w. yang meninggalkan kita bertiga tadi dan menunda urusan
kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang bersumpah dan
mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikan masing-masing
keuzurannya dan selanjutnya beliau s.a.w., menerima alasan-alasan mereka
tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah
riwayat disebutkan: "Bahwasanya Rasulullah s.a.w. keluar untuk berangkat ke
peperangan Tabuk pada hari Kamis dan memang beliau s.a.w. suka sekali kalau
keluar pada hari Kamis itu." Dalam riwayat lain disebutkan pula: "Beliau s.a.w.
tidak datang dari sesuatu perjalanan melainkan di waktu siang di dalam saat
dhuha dan jikalau beliau s.a.w. telah datang, maka lebih dulu masuk ke dalam
masjid, kemudian bershalat dua rakaat lalu duduk di dalamnya."
Keterangan:
Secara jelasnya
makna Khullifuu dalam ayat di atas itu ialah: ditangguhkannya tiga orang itu
perihal dimaafkannya dan ditundanya untuk diterima taubatnya sehingga limapuluh
hari limapuluh malam lamanya. Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya
orang tiga di atas oleh Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya ketika tidak
mengikuti perang Tabuk. Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang
Tabuk dan berani bersumpah serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka
macamnya, lalu dimaafkan oleh Nabi s.a.w. dan tidak ikut dikucilkan, tidak dapat
dimasukkan dalam golongan "Tiga orang yang ditinggalkan" tersebut. Jadi diterima
atau tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum dapat dipastikan
kebenarannya, sebab yang Maha Mengetahui hanyalah Allah Ta'ala sendiri. Jelasnya
kalau benar alasannya, tentulah dimaafkan oleh Allah, sedang kalau tidak, tentu
saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu, apabila Allah tidak
mengampuninya. Adapun tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan juga telah
diterima taubatnya.
22. Dari Abu Nujaid
(dengan dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu Imran bin Hushain al-Khuza'i
radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi
Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina.
Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang
harus dikenakan had -hukuman- maka tegakkanlah had itu atas diriku." Nabiyullah
s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda: "Berbuat baiklah kepada
wanita ini dan apabila telah melahirkan -kandungannya, maka datanglah padaku
dengan membawanya." Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah
bayinya lahir -lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita
itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w.
menyembahyangi jenazahnya. Umar berkata pada beliau: "Apakah Tuan menyembahyangi
jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?" Beliau s.a.w. bersabda:
"Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada
tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah
engkau menemukan seorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan
jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah 'Azzawajalla." (Riwayat
Muslim)
23. Dari Ibnu Abbas
dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Andaikata seorang anak Adam -yakni manusia- itu memiliki selembah emas, ia
tentu menginginkan memiliki dua lembah -emas lagi- dan sama sekali tidak akan
memenuhi mulutnya kecuali tanah -yaitu setelah mati- dan Allah menerima taubat
kepada orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
24. Dan dari Abu
Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah Subhanahu wa Ta'ala
tertawa -merasa senang- kepada dua orang yang seorang membunuh pada lainnya,
kemudian keduanya dapat memasuki syurga. Yang seorang itu berperang fisabilillah
kemudian ia dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat atas orang yang
membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam dan selanjutnya dibunuh pula sebagai
seorang syahid." (Muttafaq 'alaih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar