web widgets

Senin, 18 Juli 2016

Bab 109. Sunnahnya Makan Dengan Menggunakan Tiga Jari Dan Sunnahnya Menjilati Jari-jari Serta Makruhnya Mengusap Jari-jari Sebelum Menjilatinya, Juga Sunnahnya Menjilati Piring Dan Mengambil Suapan Yang Jatuh Daripadanya Terus Memakannya, Juga Bolehnya Mengusapkan Jari-jari Yang Sudah Dijilati Pada Kaki Dan Lain-lain Sebagainya

745. Dari Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang dari engkau semua makan sesuatu makanan, maka janganlah mengusap jari-jarinya sebelum menjilatnya -untuk mendapatkan keberkahan- atau menjilatkannya -kepada orang lain seperti kepada anaknya, muridnya dan lain-lain." (Muttafaq 'alaih)

746. Dari Ka'ab bin Malik r.a., katanya: "Saya melihat Rasulullah s.a.w. makan dengan menggunakan tiga jari. Kemudian setelah beliau selesai lalu menjilatinya." (Riwayat Muslim)

747. Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. menyuruh untuk menjilati jari-jari dan piring dan beliau bersabda: "Sesungguhnya engkau semua tidak mengetahui di makanan yang manakah terletaknya keberkahan itu." (Riwayat Muslim)

748. Dari jabir r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w, bersabda: "Jikalau suapan seorang diantara engkau semua itu jatuh, maka singkirkanlah kotoran-kotoran yang menempel di situ dan kemudian hendaklah memakannya serta janganlah ditinggalkan untuk dimakan oleh syaitan. Jangan pula seorang itu mengusap tangannya dengan saputangan sehingga ia menjilati jari-jarinya -terlebih dahulu-, sebab sesungguhnya ia tidak dapat mengetahui di makanan yang manakah terletaknya keberkahan itu." (Riwayat Muslim)

749. Dari Jabir r.a. pula, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya syaitan itu mendatangi seorang dari engkau semua dalam segala hal yang dilakukannya, sampaipun ia datang pula ketika ia makan. Maka jikalau suapan seorang diantara engkau semua itu jatuh, maka hendaklah diambilnya lalu menyingkirkan kotoran yang menempel padanya dan selanjutnya hendaklah memakannya dan janganlah ditinggalkan untuk dimakan oleh syaitan. Kemudian apabila ia telah selesai, maka hendaklah menjilat jari-jarinya, karena sesungguhnya ia tidak mengetahui di makanan yang manakah terletaknya keberkahan itu." (Riwayat Muslim)

750. Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. itu apabila makan sesuatu makanan, maka beliau menjilati jari-jarinya yang tiga buah -yang digunakan untuk makan yakni ibu jari, telunjuk dan tengah- dan beliau s.a.w. bersabda: "Jikalau suapan seorang dari engkau semua itu jatuh, maka singkirkanlah kotoran-kotoran yang menempel di situ, selanjutnya hendaklah memakannya dan janganlah ditinggalkan untuk dimakan oleh syaitan." Beliau s.a.w. juga menyuruh kepada kita supaya kita mengusap piring -lalu memakan sekali jikalau ada makanan yang ada di situ- dan beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya engkau semua tidak mengetahui di makanan yang manakah terletaknya keberkahan itu." (Riwayat Muslim)


751. Dari Said bin al-Harits bahwasanya ia bertanya kepada Jabir tentang hal apakah wajib berwudhu' karena makan sesuatu yang terkena oleh api -yakni yang dimasak dengan api- lalu ia menjawab: "Tidak, sungguh-sungguh kita dahulu yaitu di zaman Nabi s.a.w. tidak mendapatkan makanan yang dimasak dengan api itu kecuali sedikit sekali. Jikalau kita menemukan makanan itu, kita tidak mempunyai saputangan-saputangan -untuk mengusap selesai memakannya- melainkan yang ada ialah tapak-tapak tangan kita, lengan-lengan kita serta kaki-kaki kita -maksudnya tapak tangan, lengan dan kaki itulah yang digunakan untuk mengusap jari-jari setelah selesai makan-, seterusnya kitapun lalu shalat dan kita tidak berwudhu' lagi." (Riwayat Bukhari)

Bab 108. Makruhnya Makan Sambil Bersandar

743. Dari Abu Juhaifah yaitu Wahab bin Abdullah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya tidak akan makan sambil bersandar -muttaki'-." (Riwayat Bukhari) Al-Khaththabi berkata: Almuttaki' di sini ialah orang yang duduk sambil bersandar pada kasur yang diletakkan di bawahnya." Katanya: "Orang itu bukannya berkehendak akan duduk di atas kasur atau bantal-bantal seperti kelakuan orang yang menghendaki untuk memperbanyakkan makanan, tetapi ia duduk sambil gelisah duduknya dan tidak tenang, juga makannya itu secukupnya belaka. Inilah yang diucapkan oleh al-Khaththabi. Selain al-Khaththabi mengisyaratkan bahwasanya muttaki' ialah orang yang miring duduknya pada lambungnya yang sebelah. Wallahu a'lam.


744. Dari Anas r.a., katanya: "Saya melihat Rasulullah s.a.w. makan kurma sambil duduk berjongkok." (Riwayat Muslim) Almuq'i atau duduk berjongkok itu ialah merapatkan kedua pantatnya di bumi dan mendirikan kedua betisnya.

Bab 107. Perintah Makan Dari Tepi Piring Dan Larangan Makan Dari Tengahnya

Dalam bab ini termasuk pulalah sabda Rasulullah s.a.w.: "Dan makanlah dari apa-apa yang ada di dekatmu." Muttafaq 'alaih, sebagaimana yang diuraikan di muka.

741. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Keberkahan itu turun di tengah makanan, maka makanlah engkau semua dari kedua tepi makanan itu dan janganlah makan dari tengahnya." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.


742. Dari Abdullah bin Busr r.a., katanya: "Nabi s.a.w. mempunyai suatu tempat hidangan yang dinamakan Algharra' -artinya indah-, dibawa oleh empat orang lelaki. Setelah mereka berada di waktu pertengahan siang serta telah melakukan shalat Dhuha, lalu didatangkanlah hidangan tadi -yakni telah diisikan roti didalamnya-. Orang-orang sama berkumpul mengelilinginya. Setelah banyak jumlah mereka, Rasulullah s.a.w. duduk berlutut. Seorang A'rab -penghuni pedalaman negeri Arab- berkata: "Duduk cara apakah Tuan ini?" Rasulullah s.a.w. menjawab: "Sesungguhnya Allah membuat saya sebagai seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikan saya seorang yang keras kepala serta berbuat kesalahan -dan berani menentang kebenaran-." Selanjutnya Rasulullah s.a.w. bersabda pula: "Makanlah dari sekitar tepi-tepinya saja dan tinggalkanlah puncaknya, tentulah diberikan keberkahan pada makanan itu." Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad yang baik. Dzirwatuha artinya puncak atau bagian yang teratas sekali. Dibaca dengan kasrahnya dzal -seperti di atas- atau dengan dhammahnya, lalu berbunyi dzurwatuha.

Sabtu, 27 Februari 2016

Bab 106. Apa-apa Yang Diucapkan Dan Dilakukan Oleh Orang Yang Makan Dan Tidak Sampai Kenyang

740. Dari Wahsyi bin Harb r.a. bahwasanya para sahabat Rasulullah s.a.w. berkata; "Ya Rasulullah, sesungguhnya kita semua ini makan dan tidak kenyang." Beliau s.a.w. bersabda: "Barangkali engkau semua berpisah-pisah -dalam makan itu-." Mereka menjawab: "Ya." Beliau s.a.w. bersabda lagi: "Maka dari itu berkumpullah engkau semua kepada makananmu itu dan sebutkanlah nama Allah -yakni bacalah Bismillah-, tentu akan diberkahi dalam makanan itu." (Riwayat Abu Dawud) Maksudnya makannya bersama dalam satu piring atau nampan.

Bab 105. Larangan Mengumpulkan Dua Buah Kurma Atau Lain-lainnya Jikalau Makan Bersama-sama Kecuali Dengan Izin Kawan-kawannya

739. Dari Jabalah bin Suhaim, katanya: "Kita semua terkena tahun peceklik beserta Ibnu Zubair. Kemudian kita mendapat rezeki kurma. Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma berjalan melalui kita dan kita sedang makan, lalu ia berkata: "Jangan engkau semua mengumpulkan -yakni makan dua buah atau lebih dengan sekaligus-, karena sesungguhnya Nabi s.a.w. melarang mengumpulkan itu." Kemudian ia melanjutkan katanya: "Kecuali kalau yang seseorang -orang lainnya- itu mengizinkan saudaranya." (Muttafaq 'alaih)

Bab 104. Makan Dari Apa-apa Yang Ada Di Dekatnya, Menasihati Serta Mengajarkannya Budi Pekerti Pada seorang Yang Buruk Tata Kramanya Ketika Makan

737. Dari Umar bin Abu Salamah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya -pada ketika itu- adalah seorang anak yang ada di bawah pengawasan Rasulullah s.a.w., tanganku berputar-putar ke sekitar piring -kalau makan-. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: "Hai anak, ucapkanlah Bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu." (Muttafaq 'alaih)


738. Dari Salamah bin al-Akwa' r.a. bahwasanya ada seorang lelaki makan di sisi Rasulullah s.a.w. dengan tangan kirinya, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab: "Saya tidak dapat -makan dengan tangan kanan-." Beliau lalu bersabda: "Engkau tidak dapat?" Tidak ada yang menyebabkan ia berbuat sedemikian itu kecuali karena kesombongannya. Maka ia tidak dapat mengangkatkan tangan kanannya ke mulut -untuk selama-lamanya sejak saat itu-. (Riwayat Muslim)

Senin, 22 Februari 2016

Bab 103. Apa Yang Diucapkan Oleh Orang Yang Diundang Untuk Menghadiri Jamuan Makanan Lalu Diikuti Oleh Orang Lain -Tanpa Diundang-

736. Dari Abu Mas'ud al-Badri r.a., katanya: "Ada seorang lelaki mengundang Nabi s.a.w. untuk menghadiri suatu jamuan makanan yang dibuat untuk beliau, sebagai orang kelima dari lima orang yang diundang untuk itu. Tiba-tiba orang-orang yang diundang itu diikuti -oleh seseorang- yang tidak ikut diundang. Setelah beliau s.a.w. sampai di pintu, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Orang ini mengikuti kita semua. Jadi jikalau engkau suka mengizinkan untuk ikut -biarlah ia ikut-, tetapi jikalau engkau tidak menyukainya, biarlah ia kembali saja." Orang yang mengundang lalu menjawab: "Bahkan saya mengizinkannya, ya Rasulullah." (Muttafaq 'alaih)

Selasa, 16 Februari 2016

Bab 102. Apa-apa Yang Diucapkan Oleh Orang Yang Mendatangi Makanan Ketika Ia Sedang Berpuasa Dan Tidak Hendak Berbuka

735. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang diantara engkau semua diundang -untuk menghadiri sesuatu jamuan makan-, maka hendaklah mengabulkan undangan itu. Jikalau ia berpuasa, maka hendaklah ia berdoa sesuatu yang baik untuk keluarga yang mengundang itu, dan jikalau ia berbuka -yakni tidak berpuasa-, maka hendaklah makan." (Riwayat Muslim) Para alim ulama berkata: "Artinya fal yushalli ialah hendaklah berdoa agar keluarga seisi rumah orang yang mengundang itu memperoleh pengampunan dan keberkahan. Adapun artinya fal-yath'am ialah hendaklah ia makan."

Bab 101. Jangan Mencela Makanan Dan Sunnahnya Memuji Makanan

733. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. itu tidak pernah mencela sama sekali pada sesuatu makanan. Jikalau beliau s.a.w. ingin pada makanan itu beliaupun memakannya dan jikalau tidak menyukainya, maka beliau tinggalkan -tanpa mengucapkan celaan padanya-." (Muttafaq 'alaih)


734. Dari Jabir r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. meminta lauk pauk kepada keluarganya, lalu mereka berkata: "Tidak ada yang kita punyai melainkan cuka. Beliau s.a.w. lalu memintanya dan mulailah beliau makan serta bersabda: "Sebaik-baik lauk pauk ialah cuka, sebaik-baik lauk pauk ialah cuka." (Riwayat Muslim) Sabdanya Beliau s.a.w. adalah untuk memuji lauk yang sedang dimakan tersebut, bukan untuk dibanding-bandingkan dengan lauk yang lain. Wallahu'alam.

Bab 100. Kitab Adab-adab Makanan Mengucapkan Bismillah Pada Permulaan Makan Dan Alhamdulillah Pada Penghabisannya

Setiap manusia hidup pasti memerlukan makan minum. Ini sudah menjadi keharusan, sebab tanpa itu tentu mati. Tetapi makan dan minum itupun wajib menurut aturanNya. Jangan asal suka, terus dimasukkan saja, sehingga perut menjadi sesak dan padat, penuh dan tidak ada kelonggarannya sama sekali.

Dalam Hadits-hadits di bawah ini Rasulullah s.a.w. memberikan tuntunan kepada kita:
  1. Tidak satu wadahpun yang diisi oleh seseorang sampai penuh yang lebih buruk daripada ia mengisi perutnya. Ini adalah sebagai anjuran secara halus bahwa kita kalau makan jangan terlampau penuh dan padat isi perut itu. Oleh sebab itu Nabi s.a.w. pernah bersabda: "Kita -kaum Muslimin- adalah suatu kaum yang tidak akan makan sehingga kita merasa lapar dan apabila kita makan tidak sampai kekenyangan." Kegemaran makan sampai padat adalah sesuatu yang amat dikhawatirkan oleh Rasulullah s.a.w. atas umatnya, sebagaimana sabdanya: "Yang paling saya takuti diantara hal-hal yang saya takuti atas umatku ialah besarnya perut, gendut karena banyak makan, terus menerus tidur, kegemaran tidur yang melampaui batas, malas-malasan dan lemahnya keyakinan, tidak mempunyai pendirian yang tegas dan mantap."
  2. Makan itu secukupnya saja asalkan tulang dapat berdiri untuk dapat digunakan bekerja, yakni tidak sampai kehilangan semangat sebab lapar.
  3. Isi perut hendaklah dibagi tiga macam, yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk bernafas serta letak udara yang perlu dikosongkan, sehingga jiwa menjadi baik dan bersih.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan urusan makan minum ini, yaitu:
  1. Perut besar -karena kebanyakan makan- itu adalah rumah penyakit, sedang menjaga diri sebelum sakit adalah pokok pangkal pengobatan, karena jikalau telah sakit tentu sukar diobati dan tentu makan waktu untuk kesembuhannya. Oleh sebab itu berlaku sederhanalah dalam makan minum.
  2. Bukan banyaknya makanan yang menyebabkan kuatnya tubuh, tetapi makan secukupnya itulah yang membuat tubuh menjadi bersemangat dan menyebabkan kecerdikan dan berfikir.
  3. Jikalau perut sudah terisi banyak makanan, maka sempitlah jadinya untuk isi minuman. Jikalau sudah di isi terlampau banyak dengan minuman, maka sempitlah jadinya untuk diisi udara. Kalau demikian itu, terjadi, maka kelesuan, kemalasan, kelelahan akan menghinggapi orang yang berbuat semacam itu. Hal ini sangat membahayakan kesehatannya, sebab akhirnya akan sering sakit-sakitan tubuhnya dan jiwanya menjadi pemalas dan gemar menganggur, fikirannya tumpul dan hilanglah semangat kerjanya. Akibatnya timbullah berbagai angan-angan yang buruk dalam fikirannya.
Menilik hal-hal di atas itu, maka dapatlah kita menilai, betapa tinggi ajaran yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. itu kepada umatnya. Selanjutnya terserahlah kepada kita sendiri untuk melaksanakan atau mengabaikannya. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita agar kita dapat selalu mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajarannya itu. Amin.

Apa yang diuraikan dalam nomor tiga di atas adalah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad s.a.w. kepada seluruh umatnya dan disabdakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i serta Ibnu Majah yang oleh Imam Tirmidzi dikatakan sebagai hadits hasan. Hadits ini diterima dari sahabat Almiqdam bin Ma'dikariba r.a.
 
Adapun sabda Rasulullah yang dimaksudkan ialah: "Tiada seorang anak Adam (manusia)pun yang memenuhi sesuatu wadah yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah anak Adam (manusia) itu makan beberapa suap saja yang dapat mendirikan (menguatkan) tulang belakangnya. Oleh sebab itu, apabila perut itu mesti diisi, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga lagi untuk pernafasannya (jiwanya)."

725. Dari 'Amr bin Abu Salamah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku: "Ucapkanlah Bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari makanan yang ada di dekatmu." (Muttafaq 'alaih)

726. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seorang dari engkau semua makan, maka hendaklah menyebutkan nama Allah Ta'ala -yakni mengucapkan Bismillah-. Jikalau ia terlupa menyebutkan nama Allah Ta'ala pada permulaan makannya itu, maka hendaklah mengucapkan: "Bismillahi awwalahu wa akhirahu," artinya: Dengan nama Allah pada permulaan -makan- dan pada penghabisannya. Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dari Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.

727. Dari Jabir r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila seorang itu masuk rumahnya, lalu ia berdzikir kepada Allah di waktu masuknya dan ketika makannya, maka syaitan berkata kepada kawan-kawannya: "Engkau semua tidak dapat memperoleh tempat bermalam serta makanan. Tetapi jikalau orang itu masuk lalu tidak berdzikir kepada Allah Ta'ala ketika masuknya, maka syaitan berkata: "Engkau semua dapat memperoleh tempat bermalam." Selanjutnya jikalau orang tadi tidak pula berdzikir kepada Allah Ta'ala ketika makannya, maka syaitan tadi berkata: "Engkau semua dapat memperoleh tempat bermalam serta makanan." (Riwayat Muslim)

728. Dari Hudzaifah r.a., katanya: "Kita semua itu apabila mendatangi makanan bersama Rasulullah s.a.w., maka kita tidak akan meletakkan tangan-tangan kita lebih dulu sebelum Rasulullah s.a.w. memulainya, lalu beliau meletakkan tangannya. Sesungguhnya kita semua pernah mendatangi makanan pada suatu ketika bersama beliau s.a.w., lalu datanglah seorang jariah -wanita-, mungkin seorang hamba sahaya atau seorang merdeka, seolah-olah ia dijorokkan -seperti didorong kedepan karena amat cepat jalannya-, lalu ia maju untuk meletakkan tangannya pada makanan, kemudian Rasulullah s.a.w. mengambil tangannya -dilarang makan dulu-. Seterusnya datang pulalah seorang A'rab -penghuni pedalaman negeri Arab-, seolah-olah ia dijorokkan, lalu tangannya diambil pula oleh beliau s.a.w. Setelah itu Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya syaitan itu mencari halalnya makanan itu apabila tidak disebutkan nama Allah Ta'ala atasnya -yakni tidak dibacakan Bismillah lebih dulu-. Sebenarnya syaitan itu datang dengan membawa jariah ini untuk mencari halalnya makanan ini baginya, tetapi saya telah mengambil -yakni menahan- tangannya. Kemudian datang pulalah syaitan tadi dengan membawa orang A'rab ini untuk mencari halalnya makanan ini baginya, lalu saya ambil pula tangannya. Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya tangan syaitan itu ada di dalam genggaman tanganku ini bersama kedua tangan orang yang kupegang ini." Sesudah itu beliau s.a.w. menyebutkan nama Allah Ta'ala -yakni membaca Bismillah- lalu makan." (Riwayat Muslim)

729. Dari Umayyah bin Makhsyi as-Shahabi r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. -pada suatu ketika- duduk di situ ada seorang lelaki yang makan lalu tidak mengucapkan Bismillah, sehingga makanannya tidak tertinggal melainkan sesuap saja. Setelah orang itu mengangkatkan sesuatu yang tertinggal tadi di mulutnya, tiba-tiba ia mengucapkan: Bismillahi awwalahu wa akhirahu." Kemudian Nabi s.a.w. ketawa latu bersabda: "Tidak henti-hentinya syaitan tadi makan bersama orang itu. Tetapi setelah ia ingat untuk mengucapkan nama Allah -yakni setelah membaca Bismillah, maka syaitan tadi memuntahkan seluruh makanan yang telah ada dalam perutnya-. (Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i)

730. Dari Aisyah radhiallahu'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. -pada suatu ketika- hendak makan sesuatu makanan bersama enam orang sahabat-sahabatnya. Lalu datanglah seorang A'rab -penghuni pedalaman negeri Arab-, kemudian makan makanan itu dalam dua kali suap saja. Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: "Sesungguhnya saja andaikata orang ini suka membaca Bismillah -sebelum makannya tadi- niscaya makanan itu dapat mencukupi engkau semua pula -karena adanya keberkahan dalam makanan itu-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.

731. Dari Abu Umamah r.a. bahwasanya nabi s.a.w. apabila mengangkat hidangannya -yakni setelah selesai makan- beliau s.a.w. mengucapkan -yang artinya-: "Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, makanan yang suci serta diberkahi, tidak diremehkan serta tidak pula dianggap kurang berguna, ya Tuhan kita." (Riwayat Bukhari)


732. Dari Mu'az bin Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang setelah selesai makan sesuatu makanan lalu mengucapkan -yang artinya-: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini padaku dan memberikan rezeki itu padaku tanpa adanya daya serta kekuatan daripadaku", maka diampunkanlah untuknya apa-apa yang telah terdahulu dari dosanya." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Jumat, 12 Februari 2016

Bab 90. Mendengarkannya Seorang Kawan Kepada Pembicaraan Kawannya Yang Tidak Berupa Pembicaraan Yang Haram Dan Memintanya Orang Alim Serta Juru Nasihat Kepada Orang-orang Yang Menghadiri Majelisnya Supaya Mereka Mendengarkan Baik-baik

696. Dari Jarir bin Abdullah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda dalam haji wada' -yakni haji terakhirnya Nabi s.a.w. sebagai tanda perpisahan-: "Mintalah orang-orang itu supaya mendengarkan baik-baik." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Janganlah engkau semua kembali menjadi orang-orang kafir sepeninggalku nanti, lagi pula janganlah yang sebagian dari engkau semua itu memukul leher sebagian lainnya," maksudnya janganlah melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, permusuhan dan pertempuran antara sesama kaum Muslimin." (Muttafaq 'alaih)

Bab 89. Sunnahnya Menerangkan Dan Menjelaskan Pembicaraan Kepada Orang Yang Diajak Bicara Dan Mengulang-ulanginya Agar Dapat Dimengerti, Jikalau Orang Itu Tidak Dapat Mengerti Kecuali Dengan Cara Mengulang-ulangi Itu

694. Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. apabila berbicara dengan sesuatu pembicaraan, maka beliau s.a.w. mengulanginya -hingga- tiga kali sehingga dapat dimengerti apa yang dibicarakannya itu. Dan jikalau beliau s.a.w. itu datang pada sesuatu kaum, lalu memberikan salam kepada mereka, maka salam itu diucapkan sebanyak tiga kali." (Riwayat Bukhari)


695. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Percakapannya Rasulullah s.a.w. itu adalah merupakan percakapan yang terpisah-pisah -yakni jelas sekali antara kata yang satu dengan kata yang lainnya- dan dapat dimengerti oleh setiap orang yang mendengarnya." (Riwayat Abu Daud)

Bab 88. Sunnahnya Berbicara Yang Baik Dan Menunjukkan Wajah Yang Manis Ketika Bertemu

Allah Ta'ala berfirman: "Dan tundukkanlah sayapmu -yakni bersikap merendahkan dirilah- terhadap kaum mu'minin." (al-Hijr: 88)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Andaikata engkau itu berakhlak jelek serta keras hati, sesungguhnya orang-orang itu sama lari dari sekelilingmu." (Ali-Imran: 159)

691. Dari 'Adiy bin Hatim r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Takutlah engkau semua kepada neraka, sekalipun dengan jalan bersedekah dengan potongan kurma, maka barangsiapa yang tidak dapat menemukan itu, maka hendaklah bersedekah dengan mengucapkan perkataan yang baik." (Muttafaq 'alaih)

692. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Dan mengucapkan perkataan yang baik itu adalah merupakan sedekah." (Muttafaq 'alaih) Dan hadits ini adalah sebagian dari hadits yang lampau dengan kelengkapannya yang panjang -lihat hadits no.122-.


693. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepada saya: "Janganlah engkau menghinakan sesuatupun dari amal kebaikan -yakni sekalipun tampaknya kecil, janganlah tidak dilakukan-, meskipun andaikata engkau bertemu saudaramu dengan menunjukkan wajah yang manis," -atau berseri-seri tanda bersuka cita ketika bertemu itu-. (Riwayat Muslim)

Bab 87. Memelihara Apa-apa Yang Sudah Dibiasakan Dari Hal Kebaikan -Istiqomah-

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah itu tidak mengubah keadaan yang ada dalam sesuatu kaum, sehingga kaum itu mengubah sendiri apa-apa yang ada di dalam diri mereka." (ar-Ra'ad: 11)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu." (An-Nahl: 92) Al-Ankats ialah jamaknya niktsun yaitu tenunan yang diurai dan tercerai-berai.

Allah Ta'ala juga berfirman: "Janganlah mereka itu menjadi seperti orang-orang yang diberi al-Kitab -yakni kaum Yahudi dan Nasrani- dari sebelum ini, kemudian panjang sekali masa yang berlalu atas mereka, lalu menjadi keraslah hati mereka itu." (al-Hadid: 16)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Kemudian mereka itu tidak suka memelihara -ketentuan-ketentuan Allah itu- dengan pemeliharaan yang sesungguh-sungguhnya." (al-Hadid: 27)


690. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepada saya: "Hai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti si Fulan itu. Dahulu ia suka berdiri shalat diwaktu malam, tetapi kini ia meninggalkan shalat di waktu malam itu." (Muttafaq 'alaih)

Bab 86. Memenuhi Perjanjian Dan Melaksanakan Janji

Allah Ta'ala berfirman: "Dan penuhilah perjanjian, karena sesungguhnya perjanjian itu akan ditanyakan." (al-Isra': 34)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan penuhilah perjanjian terhadap Allah, jikalau engkau semua menjanjikannya." (an-Nahl: 91)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu." (al-Maidah: 1)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, mengapa engkau semua mengucapkan apa-apa yang tidak engkau semua kerjakan? Besar sekali dosanya di sisi Allah jikalau engkau semua mengucapkan apa-apa yang tidak engkau semua kerjakan itu." (as-Shaf: 2-3)

687. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tandanya orang munafik itu ada tiga, yaitu: jikalau ia berbicara berdusta, jikalau ia berjanji menyalahi dan jikalau ia dipercaya berkhianat." (Muttafaq 'alaih) Ia menambahkannya dalam riwayat Imam Muslim: "Sekalipun orang itu berpuasa dan shalat dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang Muslim."

688. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni -yakni munafik yang sebenar-benarnya- dan barangsiapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: jikalau dipercaya berkhianat, jikalau berbicara berdusta, jikalau berjanji bercidera -yakni tidak menepati- dan jikalau bertengkar maka ia berbuat kecurangan -yakni tidak melalui jalan yang benar lagi-." (Muttafaq 'alaih)

Keterangan:
Nifaq atau kemunafikan adalah suatu sifat yang ada di dalam hati manusia dan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Kemunafikan adalah suatu penyakit rohani yang tidak dapat disembuhkan kecuali oleh orang itu sendiri. Kita dapat mengetahui seseorang itu dihinggapi oleh penyakit kemunafikan, hanyalah semata-mata dari tanda-tandanya yang lahiriyah belaka. Apakah kemunafikan itu? Kemunafikan ialah menunjukkan di luar sebagai seorang Muslim yang benar-benar keislaman dan keimanannya, tetapi dalam hatinya adalah sebaliknya. Orang munafik itu hakikatnya adalah orang yang memusuhi Agama Islam, menghalang-halangi perkembangan dan kemajuan Islam, tidak ridha dengan kepesatan dan keluhuran Islam dan dengan segala daya upaya hendak mematikan Agama Islam. Itulah yang terkandung dalam hatinya yang sebenar-benarnya. Hanya tampaknya saja ia sebagai pemeluk Islam yang setia. Bagi Islam orang munafik itu adalah sebagai musuh dalam selimut. Ia menggunting dalam lipatan atau menusuk kawan seiring dari belakang. Besar benar bahayanya kaum munafik itu terhadap Islam dan kaum Muslimin. Oleh sebab itu Allah menjanjikan siksa yang pedih kepada kaum munafik itu dengan firmannya: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu ada di dalam tingkat terbawah dari neraka." Oleh sebab tidak seorangpun yang mengetahui isi hati seorang, maka oleh Rasulullah s.a.w. diuraikan tanda-tandanya kemunafikan, yaitu ada empat macam perkara. Dijelaskan oleh beliau s.a.w. bahwa barangsiapa yang memiliki empat macam perkara itu keseluruhannya, maka ia benar-benar dapat digolongkan dalam kelompok kaum munafik yang asli, tulen atau murni, bagaikan emas kemunafikannya sudah 24 karat. Tetapi apabila hanya satu perkara saja yang dimilikinya itu, maka ia telah dihinggapi satu macam penyakit kemunafikan tersebut.

Adapun empat perkara itu ialah:
  1. Jikalau berbicara berdusta.
  2. Jikalau berjanji tidak menepati.
  3. Jikalau bertengkar atau bertentangan dengan seorang, lalu berbuat kejahatan.
  4. Jikalau membuat sesuatu perjanjian lalu merusakkan atau membatalkannya sendiri yakni tidak mematuhi isi perjanjian itu dengan sebaik-baiknya.
Dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa salah satu sifat kemunafikan ialah: Jikalau dipercaya lalu berkhianat. Penyakit kemunafikan itu tetap berjangkit dalam diri seorang selama sifat-sifat buruk di atas (lima macam) tidak ditinggalkan, sekalipun orang tersebut mengerjakan shalat, puasa serta mengaku bahwa dirinya adalah manusia Muslim. Amat sederhana sekali tampaknya sifat-sifat kemunafikan yang banyaknya empat atau lima macam di atas itu, tetapi bahayanya amat besar sekali. Oleh sebab itu, selama masih ada satu penyakit kemunafikan itu menghinggapi seorang, maka tetap ia dapat dianggap sebagai orang munafik, jikalau penyakitnya itu tidak dilenyapkan sendiri, sekalipun taraf kemunafikannya masih rendah. Jadi kemunafikan seseorang itu dianggap tinggi atau rendah, murni atau tidak, hal itu tergantung kepada banyaknya sifat kemunafikan yang dimiliki olehnya. Jelasnya kemunafikannya itu dapat 20%, 40%, 60%, 80% atau 100% yakni tulen dan murni. Semoga kita semua dihindarkan dari sifat kemunafikan ini selama-lamanya.


689. Dari Jabir r.a., katanya: "Nabi s.a.w. bersabda kepada saya: "Andaikata harta dari daerah Albahrain itu benar-benar telah tiba, tentulah saya akan memberimu sekian, sekian dan sekian." Tetapi harta dari Albahrain itu tidak pernah datang sampai Nabi s.a.w. wafat. Kemudian setelah harta dari Albahrain itu datang, Abu Bakar r.a. menyuruh supaya diserukan: "Barangsiapa yang di sisi Rasulullah s.a.w. mempunyai suatu janji atau hutang, maka hendaklah datang ke tempat kami." Saya lalu mendatangi Abu Bakar r.a., dan saya berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah bersabda kepada saya demikian, demikian." Abu Bakar r.a. lalu memberikan kepada saya suatu pemberian, kemudian saya menghitungnya, tiba-tiba jumlahnya itu ialah lima ratus dirham dan Abu Bakar r.a. berkata: "Ambillah dua kalinya itu lagi." (Muttafaq 'alaih)

Senin, 08 Februari 2016

Bab 85. Menjaga Rahasia

Allah Ta'ala berfirman: Dan penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu akan ditanyakan." (al-Isra': 34)

683. Dari Abu Said al-Khudri r.a, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya seburuk-buruknya manusia di sisi Allah dalam hal kedudukannya pada hari kiamat ialah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istrinya itupun menyetubuhinya, kemudian menyiar-nyiarkan rahasia istrinya itu," misalnya mengatakan pada orang lain perihal cara bersetubuhnya atau apa-apa yang dilakukan sebelum itu dan lain-lain. Hal ini termasuk dosa besar. (Riwayat Muslim)

684. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Umar r.a. pada suatu ketika puterinya itu menjadi janda yakni Hafshah. Umar berkata: "Saya bertemu Usman bin Affan, kemudian saya menawarkan padanya akan Hafshah, lalu saya berkata: "Jikalau Anda suka, akan saya kawinkan Anda dengan Hafshah binti Umar." Usman menjawab: "Akan saya fikirkan dulu persoalanku ini," -yakni suka mengawini atau tidaknya-. Saya -Umar- berdiam diri beberapa malam -maksudnya menantikan sampai beberapa hari-, kemudian ia menemui saya lalu berkata: "Kini telah jelas dalam pendirian saya bahwa saya tidak akan kawin pada hariku ini." Selanjutnya saya bertemu dengan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. lalu saya berkata: "Jikalau Anda suka, saya akan mengawinkan anda dengan Hafshah binti Umar. Abu Bakar r.a. diam saja dan seterusnya ia tidak kembali padaku sama sekali -yakni tidak memberikan jawaban apa-apa perihal ya atau tidaknya-. Oleh sebab tidak menerima jawaban itu, maka saya lebih sangat marahnya kepada Abu Bakar daripada terhadap Usman. Selanjutnya saya berdiam diri beberapa malam, kemudian dipinang oleh Nabi s.a.w. lalu saya mengawinkan Hafshah itu kepada beliau s.a.w. Setelah itu Abu Bakar menemui saya, kemudian iapun berkatalah: "Barangkali Anda marah kepada saya ketika Anda menawarkan Hafshah pada saya itu, tetapi saya tidak memberikan jawaban apapun pada Anda?" Saya berkata: "Ya." Abu Bakar lalu berkata lagi: "Sebenarnya tidak ada yang menghalang-halangi saya untuk kembali -memberikan jawaban- kepada Anda itu perihal apa yang Anda tawarkan pada saya, hanya saja karena saya telah mengerti bahwa Nabi s.a.w. pernah menyebut-nyebutkan Hafshah tadi -maksudnya beliau s.a.w. ada keinginan akan mengawininya-. Maka oleh sebab itu saya tidak akan menyiar-nyiarkan rahasia Rasulullah s.a.w. itu. Andaikata beliau s.a.w. meninggalkannya -yakni tidak ada keinginan mengawininya-, sesungguhnya saya menerimanya -yakni suka mengawininya-. (Riwayat Bukhari) Taayyamat yaitu menjadi tidak bersuami lagi -yakni janda-, karena suaminya r.a. telah wafat. Wajad-ta artinya marah.

685. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Kita semua para istri Nabi s.a.w. sedang berada di sisi beliau s.a.w. itu. Kemudian menghadaplah puterinya yakni Fathimah radhiallahu 'anha dengan berjalan dan -cara- berjalannya itu tidak ada salahnya sama sekali -yakni sama persis- dengan cara jalannya Rasulullah s.a.w. Ketika beliau s.a.w. melihatnya, beliaupun menyambutnya dengan baik dan bersabda: "Marhaban hai puteriku." Fathimah disuruhnya duduk di sebelah kanannya atau -menurut riwayat lain- di sebelah kirinya. Seterusnya Nabi s.a.w. membisikinya, lalu Fathimah menangis dengan tangisnya yang keras sekali. Setelah beliau s.a.w. melihat kegelisahan puterinya lalu dibisikinya sekali lagi, lalu Fathimah tertawa." Saya -Aisyah- berkata kepada Fathimah: "Engkau telah diistimewakan oleh Rasulullah s.a.w. diantara sekalian istri-istrinya dengan dibisiki, kemudian engkau menangis." Sesudah Rasulullah s.a.w. berdiri dari tempatnya, lalu saya -Aisyah- bertanya kepada Fathimah: "Apakah yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. padamu itu?" Fathimah menjawab: "Saya tidak akan menyiar-nyiarkan apa yang dirahasiakan oleh Rasulullah s.a.w." Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat, saya berkata kepada Fathimah: "Saya bersengaja hendak bertanya kepadamu dengan cara yang sebenarnya, supaya engkau meberitahukan kepadaku apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. Fathimah menjawab: "Kalau sekarang, baiklah saya memberitahukan itu. Adapun yang dibisikkan oleh beliau s.a.w. pada pertama kalinya, yaitu beliau s.a.w. memberitahukan kepada saya bahwasanya Jibril dahulunya memberikan kepadanya wahyu dari al-Quran itu dalam setahun sekali, sedang sekarang dalam setahun diberikan dua kali. Beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya saya tidak mengetahui tentang datangnya ajalku itu, melainkan tentu sudah dekat. Maka dari itu bertaqwalah engkau dan bersabarlah, sesungguhnya saja sebaik-baiknya orang yang mendahului ialah saya mendahuluimu." Karena itu lalu saya menangis sebagaimana tangisku yang Anda lihat dulu itu. Selanjutnya setelah beliau s.a.w. melihat betapa kegelisahan hatiku, lalu saya dibisikinya untuk kedua kalinya, lalu beliau bersabda: "Hai Fathimah, tidakkah engkau suka jikalau engkau menjadi penghulu -pemimpin- dari seluruh wanita dari kalangan kaum mu'minin atau penghulu dari seluruh wanita dari kalangan umat ini?" Oleh karena itu, maka sayapun ketawa sebagaimana yang Anda lihat dulu itu." (Muttafaq 'alaih) Ini adalah lafaznya Imam Muslim.


686. Dari Tsabit dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. mendatangi saya dan di waktu itu saya sedang bermain-main dengan beberapa orang anak. Beliau s.a.w. mengucapkan salam pada kita, kemudian menyuruh saya untuk sesuatu keperluannya. Oleh sebab itu saya terlambat mendatangi ibuku. Selanjutnya setelah saya datang, ibu lalu bertanya: "Apakah yang menahanmu -sampai terlambat datangnya ini-?" Saya berkata: "Saya diperintah oleh Rasulullah s.a.w. untuk sesuatu keperluannya." Ibu bertanya: "Apakah hajatnya itu?" Saya menjawab: "Itu adalah rahasia." Ibu berkata: "Kalau begitu jangan sekali-kali engkau memberitahukan rahasia Rasulullah s.a.w. tersebut kepada siapapun juga." Anas berkata: "Demi Allah, andaikata rahasia itu pernah saya beritahukan kepada seseorang, sesungguhnya saya akan memberitahukan hal itu kepadamu pula, hai Tsabit." Diriwayatkan oleh Imam Muslim, sedang Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dengan diringkaskan.

Bab 84. Malu Dan Keutamaannya Dan Menganjurkan Untuk Berakhlak Dengan Sifat Malu Itu

679. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. berjalan melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar dan ia sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan." (Muttafaq 'alaih)

Keterangan:
Malu itu ada yang baik dan ada yang jelek. Malu menjalani sesuatu kemungkaran dan kemaksiatan atau umumnya larangan agama atau hal-hal yang syubhat adalah terpuji dan sangat baik. Tetapi malu menjalankan ketaatan kepada Allah, misalnya malu shalat karena baru saja menyadari kebenaran beragama, malu pergi ke masjid, malu kalau tidak suka diajak berdansa-dansi, malu kalau menolak berjabatan tangan dengan wanita (bagi seorang lelaki), semuanya itu adalah tercela dan tidak ada kebaikannya sama sekali. Dalam hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang diterima dari Abu Mas'ud yaitu Uqbah al-Anshari, mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya diantara hal-hal yang ditemui (didapatkan) dari ucapan kenubuwatan yang pertama ialah: Apabila kamu tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki." Adapun hadits di atas itu mengandung pengertian sebagai ancaman atau untuk menakut-nakuti pada seorang yang hendak berbuat semau-maunya. Jadi maksudnya ialah: "Kalau kamu tidak malu kepada Allah dalam melakukan kemungkaran dan kemaksiatan itu, terserahlah, kamu boleh melakukan apa-apa yang kamu inginkan dan sesuka hatimulah. Tetapi ingatlah bahwa setiap sesuatu itu ada balasannya, baik di dunia ataupun di akhirat." Ada pula sebagian alim ulama yang berpendapat bahwa maksud hadits di atas itu adalah untuk menunjukkan kebolehan sesuatu kelakuan. Jelasnya: "Kalau kamu hendak melakukan sesuatu, sekiranya kamu tidak malu kepada Allah dan para manusia, sebab memang bukan larangan agama, baik sajalah kamu lakukan. Tetapi sekalipun agama membolehkan, kalau kamu malu, tidak kamu lakukanpun baik juga jikalau hal itu termasuk sesuatu yang mubah (yakni bukan hal yang wajib atau sunnah). Jadi baik dilakukan atau ditinggalkan sama saja bolehnya."

680. Dari Imran bin Hushain radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sifat malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Muslim disebutkan: "Sifat malu itu baik seluruh akibatnya." Atau beliau s.a.w. bersabda: "Malu itu semuanya baik akibatnya." Yang dimaksud itu ialah malu mengerjakan kejahatan atau hal-hal yang tidak sopan menurut pandangan umum. Adapun malu mengerjakan kebaikan, maka amat tercela dan tidak dibenarkan oleh agama.

681. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Keimanan itu ada tujuh puluh lebih -tiga sampai sembilan- atau keimanan itu cabangnya ada enam puluh lebih -tiga sampai sembilan-. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan apa-apa yang berbahaya -semacam batu, duri, ranting, paku, kayu, tumpahan minyak oli, lumpur, abu kotoran dan lain-lain sebagainya- dari jalanan. Sifat malu adalah suatu cabang dari keimanan itu." (Muttafaq 'alaih)


682. Dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. itu lebih sangat sifat malunya daripada seorang perawan dalam tempat persembunyiannya -yakni perawan yang baru kawin dan berada dalam biliknya dengan suami yang belum pernah dikenalnya-. Ia -perawan tersebut- amat sangat malu kepada suaminya itu. Jikalau beliau s.a.w. melihat sesuatu yang tidak disenangi, maka kita dapat melihat itu tampak di wajahnya." (Muttafaq 'alaih) Para alim ulama berkata: "Hakikat sifat malu itu ialah suatu budi pekerti yang menyebabkan seorang itu meninggalkan apa-apa yang buruk dan menyebabkan ia tidak mau lengah untuk menunaikan haknya seorang yang mempunyai hak." Kami meriwayatkan dari Abul Qasim al-Junaid rahimahullah, katanya: "Malu ialah perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau karunia dan melihat adanya kelengahan, lalu tumbuhlah diantara kedua macam sifat yang di atas tadi suatu keadaan yang dinamakan sifat malu." Wallahu a'lam.

Bab 83. Melarang Memberikan Jabatan Sebagai Amir -Penguasa Negara- Ataupun Kehakiman Dan Lain-lainnya Dari Jabatan-jabatan Pemerintahan Negara Kepada Orang Yang Memintanya Atau Tamak -Berambisi- Untuk Memperolehnya, Lalu Menawarkan Diri Untuk Jabatan Itu

678. Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a., katanya: "Saya masuk ke tempat Nabi s.a.w. bersama dua orang dari kemenakanku, salah seorang dari dua orang ini berkata: "Ya Rasulullah, berikanlah kepada kita jabatan sebagai amir -penguasa negara- untuk memerintah sebagian daerah yang dikuasakan oleh Allah 'Azzawajalla pada Tuan." Orang yang satunyapun berkata demikian, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya kami ini, demi Allah, tidak akan memberikan kekuasaan untuk memegang suatu tugas kepada seseorang yang memintanya ataupun seorang yang tamak -loba atau serakah- untuk memperolehnya." (Muttafaq 'alaih)

Bab 82. Memerintah Sultan Atau Qadhi Dan Lain-lainnya Dari Golongan Pemegang Pemerintahan Supaya Mengangkat Wazir -Pembantu- Yang Baik Dan Menakut-nakuti Mereka Dari Kawan-kawan Yang Jahat Serta Menerima -Membenarkan- Keterangan Mereka Itu

Allah Ta'ala berfirman: "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (az-Zukhruf: 67)

676. Dari Abu Said dan Abu Hurairah radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiada seorang Nabipun yang diutus oleh Allah dan tidak pula Allah mengangkat seorang khalifah, melainkan Nabi atau khalifah itu mempunyai dua golongan -yang bertentangan-. Golongan yang satu menyuruhnya untuk mengerjakan kebaikan dan mengajaknya melaksanakan sedemikian itu sedang golongan yang satunya lagi menyuruhnya mengerjakan kejahatan dan mengajaknya melaksanakan sedemikian itu. Orang yang terjaga ialah yang dipelihara -niat, ucapan dan perbuatannya- oleh Allah." (Riwayat Bukhari)


677. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apabila Allah itu menghendaki kepada seorang amir -penguasa negara- menjadi baik, maka Allah membuat untuknya wazir -atau pembantu- yang benar. Jikalau amir itu lupa dari melaksanakan kebaikan, maka wazir itu mengingatkannya dan jikalau amir itu ingat -untuk melakukan kebaikan-, maka wazir itu memberikan pertolongannya. Tetapi apabila Allah menghendaki kepada seorang amir menjadi yang selain itu -yakni menjadi amir yang jelek-, maka Allah membuat untuknya wazir yang jelek pula. Jikalau amir itu lupa -dari melaksanakan kebaikan-, maka wazir itu tidak suka mengingatkannya dan jikalau amir itu telah ingat -untuk melaksanakan kebaikan-, maka wazir itupun tidak suka memberikan pertolongan padanya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang baik menurut syaratnya Imam Muslim.

Bab 81. Dilarang Meminta Jabatan Untuk Memegang Pemerintahan, Memilih Meninggalkan Kekuasaan Jikalau Tidak Ditentukan Untuk Itu Atau Karena Ada Hajat -Kepentingan- Padanya

Allah Ta'ala berfirman, "Perumahan akhirat Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menghendaki berbuat kesombongan di bumi dan pula tidak membuat kerusakan dan penghabisan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertaqwa." (al-Qashash: 83)

672. Dari Abu Said, yaitu Abdur Rahman bin Samurah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepada saya: "Hai Abdur Rahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan amir -penguasa negara-, sebab jikalau engkau diberi tanpa adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan diberi pertolongan oleh Allah dalam memegang jabatan itu, tetapi jikalau engkau diberi dengan sebab adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan dipalingkan dari pertolongan Allah. Jikalau engkau bersumpah atas sesuatu yang disumpahkan, kemudian engkau mengetahui sesuatu yang selainnya itu lebih baik daripada apa yang engkau sumpahkan tadi, maka datangilah -yakni laksanakanlah- apa-apa yang lebih baik tadi serta bayarlah kaffarah -denda- karena sumpahmu itu." (Muttafaq 'alaih)

673. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar, sesungguhnya saya melihat engkau itu adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya saya mencintai untukmu sesuatu yang saya cintai untukku sendiri. Janganlah engkau menjadi seorang amir -pemegang kekuasaan atau hakim- atas dua orang -maksudnya sekalipun yang diperintah itu hanya sedikit dan diibaratkan dua orang, jangan menjadi penguasa atau yang membawahi mereka- dan jangan pula engkau mendekati harta anak yatim -sehingga engkau pakai untuk keperluanmu sendiri-." (Riwayat Muslim)

674. Dari Abu Zar r.a. pula, katanya: "Saya berkata: "Ya Rasulullah, tidakkah Tuan suka menggunakan saya -yakni mengangkat saya sebagai seorang petugas negara-." Beliau s.a.w. lalu menepuk bahuku dengan tangannya, lalu bersabda: "Hai Abu Zar, sesungguhnya pada hari kiamat engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan pemerintahan itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu adalah merupakan kerendahan serta penyesalan -pada hari kiamat- bagi orang yang tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seorang yang mengambil amanat itu dengan hak sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang dibebankan atas dirinya perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim)


675. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya engkau semua itu akan bersifat loba -serakah- untuk memperoleh jabatan sebagai penguasa negara dan jabatan sedemikian itu akan menyebabkan adanya penyesalan pada hari kiamat." (Riwayat Bukhari)

Bab 80. Wajibnya Mentaati Pada Penguasa Pemerintahan Dalam Perkara-perkara Bukan Kemaksiatan Dan Haramnya Mentaati Mereka Dalam Urusan Kemaksiatan

Allah Ta'ala berfirman: "Hai sekalian orang yang beriman, taatlah engkau semua kepada Allah dan taat pulalah kepada Rasulullah, juga kepada orang-orang yang memegang pemerintahan dari kalanganmu sendiri." (an- Nisa': 59)

661. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dengan patuh serta mentaati, baik dalam hal yang ia senangi dan yang ia benci, melainkan jikalau ia diperintah untuk sesuatu kemaksiatan. Maka apabila ia diperintah -oleh penguasa pemerintahan- dengan sesuatu kemaksiatan, tidak bolehlah ia mendengarkan perintahnya itu dan tidak boleh pula mentaatinya." (Muttafaq 'alaih)

662. Dari Ibnu Umar r.a. pula, katanya: "Kita semua itu apabila berbai'at kepada Rasulullah s.a.w. untuk mendengar dengan patuh dan mentaati -apa-apa yang diperintahkan olehnya-, beliau s.a.w. selalu bersabda: "Dalam apa yang engkau semua kuasa melaksanakannya -yakni dengan sekuat tenaga yang ada padamu semua-." (Muttafaq 'alaih)

663. Dari Ibnu Umar r.a. pula, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa yang melepaskan tangan ketaatan -yakni keluar dari ketaatan terhadap penguasa pemerintah-, maka orang itu akan menemui Allah pada hari kiamat, sedang ia tidak mempunyai hujjah -alasan lagi untuk membela diri dari kesalahannya itu-. Adapun yang meninggal dunia sedang di lehernya tidak ada pembai'atan -untuk mentaati pada pemerintahan yang benar-, maka matilah ia dalam keadaan mati jahiliyah." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan: "Dan barangsiapa yang mati dan ia menjadi orang yang memecah belah persatuan umat -kaum Muslimin-, maka sesungguhnya ia mati dalam keadaan mati jahiliyah."

664. Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dengarlah olehmu semua dengan patuh dan taatlah pula, sekalipun yang digunakan -yakni yang diangkat sebagai pemegang pemerintahan- atasmu semua itu seorang hamba sahaya keturunan Habsyi -orang berkulit hitam-, yang di kepalanya itu seolah-olah ada bintik-bintik hitam kecil-kecil." (Riwayat Bukhari)

665. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Wajiblah atasmu itu mendengar dengan patuh serta mentaati baik engkau dalam keadaan sukar ataupun lapang, juga baik engkau dalam keadaan rela menerima perintah itu ataupun dalam keadaan membencinya dan juga dalam hal yang mengalahkan kepentingan dirimu sendiri." (Riwayat Muslim)

666. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Kita semua bersama Rasulullah s.a.w. dalam berpergian, kemudian kita turun berhenti di suatu tempat pemberhentian. Diantara kita ada yang memperbaiki pakaiannya, ada pula yang berlomba panah memanah dan ada pula yang menyampingi ternak-ternaknya. Tiba-tiba di kala itu berserulah penyeru Rasulullah s.a.w. mengatakan: "Shalat jamaah akan segera dimulai." Kita semua lalu berkumpul ke tempat Rasulullah s.a.w., kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya tiada seorang Nabipun yang sebelum saya itu, melainkan adalah haknya untuk memberikan petunjuk kepada umatnya kepada apa-apa yang berupa kebaikan yang ia ketahui akan memberikan kemanfaatan kepada umatnya itu, juga menakut-nakuti dari keburukan apa-apa yang ia ketahui akan membahayakan mereka. Sesungguhnya umatmu semua ini keselamatannya diletakkan di bagian permulaannya dan kepada bagian penghabisannya akan mengenailah suatu bencana dan beberapa persoalan yang engkau semua mengingkarinya -tidak menyetujui karena berlawanan dengan syariat-. Selain itu akan datang pula beberapa fitnah yang sebagiannya akan menyebabkan ringannya bagian yang lainnya. Ada pula fitnah yang akan datang, kemudian orang mu'min berkata: "Inilah yang menyebabkan kerusakanku," lalu fitnah itu lenyaplah akhirnya. Juga ada fitnah yang datang, kemudian orang mu'min berkata: "Ini, inilah yang terbesar -dari berbagai fitnah yang pernah ada-." Maka barangsiapa yang senang jikalau dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam syurga, hendaklah ia sewaktu didatangi oleh kematiannya itu, ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, juga memperlakukan para manusia dengan sesuatu yang ia senang jika diperlakukan sedemikian itu oleh orang lain. Dan barangsiapa yang membai'at seorang imam -pemuka-, lalu ia telah memberikan tapak tangannya -dengan berjabatan tangan- dan memberikan pula buah hatinya -maksudnya keikhlasan-, maka hendaklah ia mentaatinya apabila ia kuasa demikian -yakni sekuat tenaga yang ada pada dirinya-. Selanjutnya jikalau ada orang lain yang hendak mencabut -merampas kekuasaan imam yang telah dibai'at tadi-, maka pukullah leher orang lain itu -yakni perangilah yang membangkang tersebut-. (Riwayat Muslim) Sabdanya: yantadhilu artinya berlomba dengan permainan melemparkan panah atau berpanah-panahan. Aljasyaru dengan fathahnya jim dan syin mu'jamah dan dengan ra', yaitu binatang-binatang yang sedang digembalakan dan bermalam di tempatnya itu pula. Sabdanya: yuraqqiqu ba'dhuha ba'dhan artinya yang sebagian membuat ringan pada yang sebagian lagi, sebab besarnya apa yang datang sesudah yang pertama itu. Jadi yang kedua menyebabkan dianggap ringannya yang pertama. Ada yang mengatakan bahwa artinya ialah yang sebagian menggiring yakni menyebabkan timbulnya sebagian yang lain dengan memperbaguskan serta mengelokkannya, juga ada yang mengatakan bahwa artinya itu ialah menyerupai yang sebagian pada sebagian yang lainnya.

667. Dari Abu Hunaidah yaitu Wail bin Hujr r.a., katanya: "Salamah bin Yazid al-Ju'fi bertanya kepada Rasulullah s.a.w., lalu ia berkata: "Ya Nabiyullah, bagaimanakah pendapat Tuan, jikalau kita semua diperintah oleh beberapa orang penguasa, mereka selalu meminta hak mereka dan menghalang-halangi apa yang menjadi hak kita. Apakah yang Tuan perintahkan itu terjadi?" Beliau s.a.w. memalingkan diri dari pertanyaan itu -seolah-olah tidak mendengarnya-. Kemudian Salamah bertanya sekali lagi, kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dengarlah olehmu semua -apa yang diperintahkan- dan taatilah, sebab sesungguhnya atas tanggungan mereka sendirilah apa-apa yang dibebankan pada mereka -yakni bahwa mereka berdosa jikalau mereka menghalang-halangi hak orang-orang yang di bawah kekuasaannya- dan atas tanggunganmu sendiri pulalah apa yang dibebankan padamu semua -yakni engkau semua juga berdosa jikalau tidak mentaati pimpinan orang yang sudah sah dibai'at-." (Riwayat Muslim)

668. Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya saja akan datanglah sesudahku nanti suatu cara mementingkan diri sendiri -dari golongan penguasa negara sehingga tidak memperdulikan hak kaum Muslimin yang diperintah- serta beberapa perkara-perkara yang engkau semua mengingkarinya -tidak menyetujui karena menyalahi ketentuan-ketentuan syariat-." Para sahabat lalu berkata: "Ya Rasulullah, kalau sudah demikian, maka apakah yang Tuan perintahkan kepada yang orang menemui keadaan semacam itu dari kita -kaum Muslimin-?" Beliau s.a.w. menjawab: "Engkau semua harus menunaikan hak orang yang harus menjadi tanggunganmu dan meminta kepada Allah hak yang harus engkau semua peroleh." (Muttafaq 'alaih)

669. Dari Abu Hurairah r.a., katanya; "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat pula kepada Allah dan barangsiapa yang mentaati amir -pemegang pemerintahan-, maka ia benar-benar mentaati saya dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amir, maka ia benar-benar bermaksiat kepada saya." (Muttafaq 'alaih)

670. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang membenci sesuatu tindakan dari amirnya -yang memegang pemerintahannya-, maka hendaklah ia bersabar, sebab sesungguhnya barangsiapa yang keluar -yakni membangkang- dari seorang sultan -penguasa negara- dalam jarak sejengkal, maka matilah ia dalam keadaan mati jahiliyah." (Muttafaq 'alaih)

671. Dari Abu Bakrah r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang merendahkan seorang sultan -penguasa negara-, maka ia akan direndahkan oleh Allah." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Bab 79. Penguasa Yang Adil

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah itu memerintahkan keadilan, berbuat baik dan memberikan bantuan kepada kaum kerabat," sampai habisnya ayat. (an-Nahl: 90)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan berlaku adillah engkau semua, sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang berlaku adil." (al-Hujurat: 9)

657. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Ada tujuh macam orang yang akan diberi naungan oleh Allah dalam naungannya pada hari itu tiada naungan melainkan naungan Allah itu sendiri, yaitu:
  1. Imam -pemimpin atau kepala pemerintahan- yang adil
  2. Pemuda yang tumbuh -sejak kecil- dalam beribadah kepada Allah 'Azzawajalla
  3. Seorang yang hatinya tergantung -sangat memperhatikan- kepada masjid-masjid
  4. Dua orang yang saling cinta mencintai karena Allah, keduanya berkumpul atas keadaan yang sedemikian serta berpisah pun atas keadaan yang sedemikian
  5. Seorang lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan serta kecantikan wajah, lalu ia berkata: "Sesungguhnya saya ini takut kepada Allah," - ataupun sebaliknya yakni yang diajak itu ialah wanita oleh seorang lelaki
  6. Seorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu menyembunyikan amalannya itu -tidak menampak-nampakkannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang dilakukan oleh tangan kanannya
  7. Seorang yang ingat kepada Allah di dalam keadaan sepi lalu melelehlah airmata dari kedua matanya."(Muttafaq 'alaih)
658. Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang yang berlaku adil itu di sisi Allah akan menempati beberapa mimbar dari cahaya. Mereka itu ialah orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum, juga terhadap keluarga dan perihal apapun yang mereka diberi kekuasaan untuk mengaturnya." (Riwayat Muslim)

659. Dari 'Auf bin Malik, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pemimpin-pemimpin pilihan diantara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua mencintai mereka dan mereka pun mencintaimu semua, juga yang engkau semua mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untukmu semua. Adapun pemimpin-pemimpin yang jahat diantara engkau semua ialah orang-orang yang engkau semua membenci mereka dan mereka pun membenci padamu semua, juga yang engkau semua melaknat mereka dan mereka pun melaknat padamu semua." 'Auf berkata: "Kita para sahabat lalu berkata: "Ya Rasulullah, apakah kita tidak boleh menentang kepada pemimpin-pemimpin yang sedemikian itu? Beliau s.a.w. bersabda: "Jangan menentang mereka, selama mereka masih tetap mendirikan shalat di kalanganmu semua." (Riwayat Muslim)


660. Dari 'Iyadh bin Himar r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ahli syurga itu ada tiga macam, yaitu orang yang mempunyai kekuasaan pemerintahan yang berlaku adil dan dikaruniai taufik -yakni dikaruniai pertolongan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya-, juga seorang yang berhati kasih sayang, lemah-lembut kepada semua kerabatnya dan juga kepada sesama Muslimnya, dan pula seorang yang menahan diri dari meminta-minta dan berusaha untuk tidak meminta-minta itu, sedangkan ia mempunyai keluarga banyak -dan dalam keadaan miskin-." (Riwayat Muslim)

Bab 78. Perintah Kepada Pemegang Pemerintahan Supaya Bersikap Lemah-lembut Kepada Rakyatnya, Memberikan Nasihat Serta Kasih Sayang Kepada Mereka, Jangan Mengelabui Dan Bersikap Keras Pada Mereka, Juga Jangan Melalaikan Kemaslahatan-kemaslahatan Mereka, Lupa Mengurus Mereka Ataupun Apa-apa Yang Menjadi Hajat Kepentingan Mereka

Allah Ta'ala berfirman: "Dan rendahkanlah sayapmu -yakni bersikap merendahkan dirilah- kepada orang yang mengikutimu dari golongan kaum mu'minin.” (as-Syu'ara': 215)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Sesungguhnya Allah menyuruh -berbuat- dengan keadilan, berbuat baik dan memberi sedekah kepada kaum kerabat serta melarang perbuatan keji, kemungkaran dan kedurhakaan. Allah menasihatkan kepadamu semua, supaya engkau semua dapat memperoleh peringatan." (an-Nahl: 90)

651. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiap seseorang dari engkau semua itu adalah penggembala dan setiap seorang dari engkau semua itupun akan ditanya perihal penggembalaannya. Pemimpin adalah penggembala dan akan ditanya perihal penggembalaannya. Seorang lelaki adalah penggembala dalam keluarganya dan akan ditanya perihal penggembalaannya. Seorang wanita adalah penggembala dalam rumah suaminya dan akan ditanya perihal penggembalaannya. Buruh adalah penggembala dalam harta majikannya dan akan ditanya perihal penggembalaannya. Jadi setiap seorang dari engkau semua itu adalah penggembala dan tentu akan ditanya perihal penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih)

652. Dari Abu Ya'la yaitu Ma'qil bin Yasar r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tiada seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk menggembala suatu penggembalaan -yakni memimpin sesuatu umat atau bangsa-, lalu ia mati pada hari kematiannya, sedang di kala itu ia dalam keadaan menipu pada penggembalaanya, melainkan Allah mengharamkan padanya untuk masuk syurga." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Lalu orang yang diserahi penggembalaan itu tidak menjaga penggembalaannya dengan nasihatnya -yakni mengusahakan apa-apa yang bermanfaat untuk rakyatnya dan menolak apa-apa yang akan membahayakan mereka-, maka orang itu tidak akan dapat memperoleh bau syurga." Dalam riwayat Imam Muslim juga disebutkan: "Tiada seorang amir -pemimpin- yang menguasai urusan pemerintahan kaum Muslimin, kemudian ia tidak bersungguh-sungguh memberikan kemanfaatan kepada mereka, juga tidak memberikan nasihat pada mereka -yakni mengusahakan mana-mana yang baik dan menolak mana-mana yang tidak baik-, melainkan pemimpin itu tidak akan masuk syurga beserta mereka yang dipimpinnya itu."

653. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda dalam rumahku demikian: "Ya Allah, barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku, kemudian ia membuat kesengsaraan pada mereka, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu sendiri, sedang barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku, kemudian ia menunjukkan kasih sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih sayangilah orang itu." (Riwayat Muslim)

654. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kaum Bani Israil itu selalu dipimpin oleh para Nabi, yaitu setiap ada seorang Nabi yang meninggal dunia, maka digantilah oleh Nabi lainnya. Sesungguhnya tiada Nabi lagi sepeninggalku nanti. Akan datanglah sesudahku beberapa khalifah -para pengganti-, maka banyaklah jumlah mereka itu." Para sahabat berkata: "Apakah yang Tuan perintahkan pada kita pada saat itu?" Beliau s.a.w. bersabda: "Penuhilah dengan pembai'atan yang pertama -yakni patuh pada pemerintahan itu serta memerangi orang yang menentangnya-, kemudian berilah kepada khalifah-khalifah itu akan hak mereka -yang wajib dipenuhi- dan mohonlah kepada Allah apa-apa yang semestinya menjadi hakmu semua -yaitu supaya dikasih sayangi oleh pemerintahan itu serta diusahakan mana-mana yang bermanfaat dan dihindarkan dari bencana-, karena sesungguhnya Allah akan menanya kepada khalifah-khalifah itu perihal cara penggembalaan mereka kepada umatnya." (Muttafaq 'alaih)

655. Dari 'Aidz bin 'Amr r.a. bahwasanya ia masuk ke tempat 'Ubaidullah bin Ziad, lalu ia berkata: "Hai anakku, sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya seburuk-buruknya penggembala ialah orang-orang yang keras hati -pada penggembalaannya-." Maka dari itu janganlah engkau termasuk golongan mereka itu." (Muttafaq 'alaih) [55]


656. Dari Abu Maryam al-Azdi r.a. bahwasanya ia berkata kepada Mu'awiyah r.a.: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang diserahi oleh Allah akan sesuatu kekuasaan dari beberapa urusan pemerintahan kaum Muslimin, kemudian orang itu menutup diri -tidak memperhatikan- perihal hajat, kepentingan atau kefakiran orang-orang yang di bawah kekuasannya, maka Allah juga akan menutup diri -yakni tidak memperhatikan- perihal hajat, kepentingan atau kefakirannya sendiri pada hari kiamat." Sejak saat itu Mu'awiyah lalu mengangkat seorang untuk mengurus segala macam keperluan orang banyak." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi. 

Minggu, 07 Februari 2016

Bab 77. Marah Jikalau Kehormatan-kehormatan Syara' Dilanggar Dan Membantu Untuk Kemenangan Agama Allah Ta'ala

Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang mengagungkan peraturan-peraturan suci dari Allah, maka itulah yang terbaik baginya di sisi Tuhannya." (al-Haj: 30)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Jikalau engkau memberikan pertolongan kepada agama Allah maka Allah pasti memberikan pertolongan kepadamu semua dan menetapkan -meneguhkan- kaki-kakimu." (Muhammad: 7)

Dalam bab ini Hadits-haditsnya termasuklah hadits Aisyah yang terdahulu dalam bab Memaafkan.

647. Dari Abu Mas'ud yaitu 'Uqbah bin 'Amr al-Badri r.a., katanya: "Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata: "Sesungguhnya saya pasti membelakangkan diri dari shalat subuh -yakni tidak ikut berjama'ah- karena si Fulan itu, karena ia memanjangkan bacaan suratnya untuk kita." Maka saya -Abu Mas'ud- sama sekali tidak pernah melihat Nabi s.a.w. marah dalam nasihatnya lebih daripada marahnya pada hari itu. Beliau s.a.w. bersabda: "Hai sekalian manusia, sesungguhnya diantara engkau semua ada orang-orang yang menyebabkan larinya orang lain. Maka siapa saja diantara engkau semua yang menjadi imam orang banyak -dalam bershalat- hendaklah ia menyingkatkan bacaannya, sebab sesungguhnya di belakangnya itu ada orang yang sudah tua, anak kecil dan ada pula orang yang segera hendak mengurus keperluannya." (Muttafaq 'alaih)

648. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. datang dari berpergian dan saya telah memberikan tutup dalam rumahku -gorden- dengan tabir yang tipis sekali, di situ ada beberapa gambar boneka. Setelah Rasulullah s.a.w. melihatnya lalu dirusaknya dan berubahlah warna wajahnya serta bersabda: "Hai Aisyah, sesangat-sangatnya manusia dalam hal siksanya di sisi Allah pada hari kiamat ialah orang-orang yang menyamai dengan apa-apa yang diciptakan oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)

649. Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya orang-orang Quraisy disedihkan oleh peristiwa seorang wanita dari golongan Makhzum yang mencuri -dan wajib dipotong tangannya-. Mereka berkata: "Siapakah yang berani memperbincangkan soal wanita ini dengan Rasulullah s.a.w.?" Kemudian mereka berkata pula: "Tidak ada rasanya seorang pun yang berani mengajukan perkara ini -maksudnya untuk meminta supaya dimaafkan dan hukuman potong tangan diurungkan- melainkan Usamah bin Zaid, yaitu kecintaan Rasulullah s.a.w. Usamah lalu membicarakan hal tersebut pada beliau s.a.w., kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Adakah engkau hendak meminta tolong dihapuskannya sesuatu had -hukuman- dari had-had yang ditentukan oleh Allah Ta'ala?" Seterusnya beliau berdiri dan berkhutbah: "Sesungguhnya yang menyebabkan rusak akhlaknya orang-orang yang sebelummu semua itu ialah karena mereka itu apabila yang mencuri termasuk golongan yang mulia di kalangan mereka, orang tersebut mereka biarkan saja -yakni tidak diterapi hukuman apa-apa-, sedang apabila yang mencuri itu orang yang lemah -orang miskin dan tidak berkuasa-, maka mereka laksanakanlah hadnya. Demi Allah yang mengaruniakan keberkahan, andaikata Fathimah puteri Muhammad itu mencuri pastilah saya potong pula tangannya." -yakni sekalipun anaknya sendiri juga harus diterapi hukuman sebagaimana orang lain-. (Muttafaq 'alaih)


650. Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. melihat ada ingus -lendir- di arah kiblat, maka hal itu dirasakan amat berat sekali dalam hatinya, sehingga tampaklah di wajah beliau itu. Selanjutnya beliau berdiri dan menggaruknya -yakni menggosok-gosoknya -dengan tangan nya- dan ingus itu dapat hilang sebab telah kering. Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya apabila seorang diantara engkau semua itu berdiri dalam shalatnya, maka sebenarnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya di kala itu dan bahwasanya Tuhannya itu diantara dirinya dan antara kiblat. Maka dari itu janganlah seorang diantara engkau semua itu berludah ke arah kiblat, tetapi berludahlah ke arah kiri atau ke bawah kakinya." Seterusnya beliau s.a.w. mengambil ujung selendangnya, lalu berludah di situ, kemudian membolak-balikkan sebagian selendang itu dengan bagian lainnya -yakni digosok-gosokkan ludah tadi dengan kain selendang nya berulang kali-. Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Atau mengerjakan sedemikian ini." (Muttafaq 'alaih) Adapun perintah berludah di arah kiri atau di bawah kaki itu apabila orang tersebut bershalatnya tidak di dalam masjid. Tetapi jikalau di dalam masjid, maka janganlah berludah melainkan wajib diletakkan dalam pakaiannya sendiri, atau didalam sapu tangan atau tissue.

Bab 76. Menahan Diri -Bersabar- Dari Apa-apa Yang Menyakitkan

Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang menahan kemarahan dan yang memaafkan kepada orang banyak dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (Ali-Imran: 134)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya hal yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." (as-Syura: 43)

Dalam bab ini hadits-haditsnya adalah sebagaimana hadits-hadits yang diterangkan dalam bab di muka sebelum bab ini.


646. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya itu mempunyai beberapa orang kerabat, mereka saya hubungi -yakni dipereratkan ikatan kekeluargaannya-, tetapi mereka memutuskannya, saya berbuat baik kepada mereka itu, tetapi mereka berbuat buruk pada saya, saya bersikap sabar kepada mereka itu, tetapi mereka menganggap bodoh mengenai sikap saya itu." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Jikalau benar sebagaimana yang engkau katakan itu, maka seolah-olah mereka itu engkau beri makanan abu panas -yakni mereka mendapat dosa yang besar sekali-. Dan engkau senantiasa disertai penolong dari Allah dalam menghadapi mereka itu selama engkau benar dalam keadaan sedemikian itu." (Riwayat Muslim) Syarah hadits ini sudah terdahulu dalam bab "Mempereratkan ikatan kekeluargaan" -lihat hadits no.318-.

Bab 75. Memaafkan Dan Tidak Menghiraukan Orang-orang Yang Bodoh

Allah Ta'ala berfirman: "Berilah pengampunan, perintahlah kebaikan dan janganlah engkau menghiraukan kepada tindakan orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Berilah orang-orang itu maaf yang baik." (al-Hijr: 85)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Hendaklah mereka memberikan pengampunan dan kelapangan dada. Tidakkah engkau semua senang jikalau Allah memberikan pengampunan pula kepadamu?" (an-Nur: 22)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan orang-orang yang suka memaafkan kepada orang banyak dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (Ali-Imran: 134)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan niscayalah orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya hal yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." (as- Syura: 43)

Ayat-ayat dalam bab ini banyak sekali dan dapat dimaklumi.

641. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya ia berkata kepada Nabi s.a.w.: "Adakah pernah datang pada Tuan suatu hari yang lebih sukar penderitaannya daripada hari peperangan Uhud?" Beliau s.a.w. menjawab: "Ya, saya benar-benar pernah menemui peristiwa gawat itu dari kaummu. Sesuatu yang saya hadapi yang terberat penderitaannya dari mereka itu ialah pada hari 'Aqabah. Pada suatu ketika saya menawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Jalil bin Aban Kulal -salah seorang terkemuka di daerah Thaif- dan kedatangan Nabi s.a.w. ke situ adalah untuk meminta bantuan. Tetapi ia tidak mengabulkan apa-apa yang saya kehendaki. Selanjutnya sayapun berangkatlah -kembali- dan saya dalam keadaan duka cita, tampak di wajahku. Saya tidak sadar dari keadaan sedemikian itu melainkan setelah saya berada di Qarnuts Tsa'alib -nama suatu tempat-. Kemudian saya mengangkat kepalaku, tiba-tiba tampaklah suatu awan yang menaungi diriku. Saya melihat ke atas dan sekonyong-konyong disitu ada Jibril Alaihis-salam. Ia mengundang saya, lalu berkata: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mendengar perihal pembicaraan kaum Tuan kepada Tuan dan bagaimana cara penolakan mereka atas permintaan Tuan itu. Allah kini mengutus untuk Tuan malaikat penjaga gunung-gunung supaya Tuan dapat menyuruhnya tentang apa saja yang Tuan inginkan." Seterusnya malaikat penjaga gunung-gunung itu mengundang saya, lalu memberi salam terus berkata: "Hai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan oleh kaum Tuan kepada Tuan dan saya adalah malaikat penjaga gunung-gunung. Tuhanku mengutus saya untuk Tuan agar Tuan menyuruh saya dengan mematuhi perintah Tuan. Maka apakah kiranya Tuan suka, sekiranya Tuan menginginkan, jikalau umpamanya saya tutupkan saja atas kaum Tuan itu dua buah gunung ini?" Nabi s.a.w. lalu bersabda: "Bahkan saya mengharapkan agar Allah mengeluarkan dari tulang rusuk kaumku itu orang yang suka menyembah kepada Allah yang Maha Esa serta tidak menyekutukan sesuatu denganNya." Jadi tawaran malaikat penjaga gunung itu tidak diterima, bahkan mendoakan semoga diantara keturunan kaumnya itu ada yang menjadi orang mu'min dan muslim. (Muttafaq 'alaih) Al-akhsyaban ialah dua gunung yang mengelilingi kota Makkah, sedang al-akhsyab artinya ialah gunung besar.

642. Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. itu sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap seorang wanita ataupun pelayan, melainkan di waktu beliau s.a.w. sedang berjihad fisabilillah -yakni di medan pertempuran melawan kaum kafir-. Tidak pernah pula beliau s.a.w. itu terkena sesuatu yang menyakiti, lalu memberikan pembalasan kepada orang yang berbuat terhadap beliau itu, kecuali jikalau ada sesuatu dari larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau memberikan pembalasan karena mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala." (Riwayat Muslim)

643. Dari Anas r.a., katanya: "Saya berjalan bersama Rasulullah s.a.w. dan beliau mengenakan baju buatan negeri Najran yang kasar tepinya, kemudian beliau disusul oleh seorang A'rab -penduduk negeri Arab bagian pedalaman-, lalu ditariklah selendang beliau itu dengan tarikan yang keras sekali. Saya -Anas- melihat pada tepi leher Nabi s.a.w. dan amat membekas sekali tepi pakaian tadi karena amat sangat ditariknya. Selanjutnya orang A'rab itu berkata: "Ya Muhammad, perintahkanlah untuk memberikan padaku sesuatu dari harta Allah yang ada di sisi Tuan." Nabi s.a.w. lalu menoleh pada orang itu terus ketawa dan selanjutnya menyuruh supaya orang tadi diberi sesuatu pemberian sedekah." (Muttafaq 'alaih)

644. Dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya: "Seolah-olah -sekarang- saya masih dapat melihat kepada Rasulullah s.a.w. ketika beliau menceritakan seorang Nabi dari para Nabi-nabi shalawatullah wasalamuhu'alaihim, yaitu ketika Nabi tadi dipukul oleh kaumnya, sehingga mereka menyebabkan keluar darahnya dan Nabi itu mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berdoa: "Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak mengerti." (Muttafaq 'alaih)


645. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bukannya orang yang keras -tangguh yang terpuji menurut syara'- itu orang yang menang dalam perkelahian, tetapi yang dinamakan orang keras -tangguh- ialah orang yang dapat menguasai dirinya di waktu marah." (Muttafaq 'alaih)

Bab 74. Sabar, Perlahan-lahan, Kasih Sayang dan Lemah Lembut

Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kepada orang banyak dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (Ali-Imran: 134)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Berilah pengampunan, perintahkanlah kebaikan dan janganlah menghiraukan kepada orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan itu. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang bermusuhan antara engkau dengan ia akan menjadi teman yang amat setia. Perbuatan sedemikian itu tidak akan diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar." (Fushshilat: 34-35)

Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan sesungguhnya orang yang berhati sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya bagi yang sedemikian itu adalah termasuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan keteguhan hati." (as-Syura: 43)

630. Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Asyaj Abdul Qais: "Sesungguhnya dalam dirimu itu ada dua macam perkara yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan perlahan-lahan -dalam tindakan-." (Riwayat Muslim)

631. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap yang lemah lembut dalam segala perkara." (Muttafaq 'alaih)

632. Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap lemah lembut. Allah memberikan sesuatu dengan jalan lemah lembut, yang tidak dapat diberikan jika dicari dengan cara kekerasan, juga sesuatu yang tidak dapat diberikan selain dengan jalan lemah lembut itu." (Riwayat Muslim)

633. Dari Aisyah radhiallahu 'anha pula bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya sikap lemah-lembut itu tidak menetap dalam sesuatu perkara, melainkan ia makin memperindah hiasan baginya dan tidak dicabut dari sesuatu perkara, melainkan membuat cela padanya." (Riwayat Muslim)

634, Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Ada seorang A'rab -orang Arab dari daerah pedalaman- kencing dalam masjid, lalu berdirilah orang banyak padanya dengan maksud hendak memberikan tindakan padanya. Kemudian Nabi s.a.w. bersabda: "Biarkanlah orang itu dan di atas kencingnya itu siramkan saja setimba penuh air atau segayung yang berisi air. Karena sesungguhnya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kemudahan dan bukannya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kesukaran." (Riwayat Bukhari) Assajlu dengan fathahnya sin muhmalah dan sukunnya jim, artinya ialah timba yang penuh berisi air, demikian pula artinya kata adzdzanub.

635. Dari Anas r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Berikanlah kemudahan dan jangan mempersukarkan. Berilah kegembiraan dan jangan menyebabkan orang lari." (Muttafaq 'alaih)

636. Dari Jarir bin Abdullah r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan." (Riwayat Muslim)

637. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi s.a.w.: "Berikanlah wasiat padaku!" Nabi s.a.w. menjawab: "Janganlah engkau marah." Orang itu mengulang-ulangi lagi permintaan wasiatnya sampai beberapa kali, tetapi beliau s.a.w. tetap menjawab: "Janganlah engkau marah." (Riwayat Muslim)

638. Dari Abu Ya'la, yaitu Syaddad bin Aus r.a. dari Rasulullah s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah itu menetapkan untuk berbuat kebaikan dalam segala hal. Maka jikalau engkau semua membunuh, maka berlaku baiklah dalam membunuh itu dan jikalau engkau semua menyembelih, maka berlaku baguslah dalam menyembelih itu. Hendaklah seorang dari engkau semua itu mempertajamkan pisaunya serta memberi kelonggaran kepada apa yang disembelihnya itu," seperti mempercepat jalannya pisau, tidak dikuliti sebelum benar-benar dingin, memberi minum sebelum disembelih dan lain-lain. (Riwayat Muslim)

Keterangan:
Dalam Agama Islam hukuman bunuh itu juga diadakan, misalnya orang yang berzina muhshan, yaitu dengan cara dirajam (lihat hadits keempat belas) atau perampok yang menghadang di jalan dengan cara dibunuh lalu disalibkan, juga seperti orang yang bermurtad dari Agama Islam, iapun wajib dibunuh setelah dinantikan tiga hari untuk disuruh bertaubat. Pembunuhannya dengan dipotong lehernya. Dalam hal hukuman bunuh dengan pemotongan leher ini, Rasulullah s.a.w. memberikan tuntunan hendaknya dilakukan dengan sebaik-baiknya, umpama pedang yang digunakan untuk itu hendaklah yang tajam, juga jangan mengadakan siksaan yang tidak-tidak, memotong-motong anggotanya setelah mati, dijadikan tontonan dan lain-lain. Mengenai hukuman rajam, yakni dilempari batu yang sedang, sampai mati untuk orang yang berzina muhshan serta dibunuh lalu disalibkan untuk perampok, maka caranya memang demikianlah yang ditetapkan oleh syariat. Apapun yang sudah digariskan oleh syariat Islam, maka cara itu wajib diikuti, sesuai dengan nash-nash yang ada. Juga di kala menyembelih binatang untuk dimakan, hendaklah dengan cara yang sebaik-baiknya pula, misalnya pisaunya yang tajam, disenang-senangkan dulu sebelum disembelih dengan diberi makan minum secukupnya, dibaringkan di tempat yang rata, pisau dijalankan secepat mungkin sampai putuslah urat besar di lehernya, jangan dikuliti dulu sampai dingin badannya, jangan pula menyembelih yang satu di muka yang lainnya, jangan pula disembelih binatang yang menyusui sebab kasihan anaknya dan lain-lain lagi. Renungkanlah betapa lengkapnya aturan-aturan dalam Agama Islam itu, sampai menyembelihpun diberi tuntunan secukupnya.

639. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Tidak pernah Rasulullah s.a.w. itu diberi pilihan antara dua macam perkara, melainkan beliau s.a.w. tentu mengambil -memilih- yang termudah diantara keduanya itu, asalkan yang dianggapnya termudah ini bukannya merupakan suatu hal yang dosa. Jikalau hal itu berupa suatu dosa, maka beliau s.a.w. adalah sejauh-jauh manusia daripadanya. Rasulullah s.a.w. juga tidak pernah membalas sesuatu yang ditujukan pada diri pribadinya, melainkan jikalau kehormatan Allah itu dilanggar, maka beliau s.a.w. pasti membalasnya semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah belaka." (Muttafaq 'alaih)


640. Dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sukakah engkau semua saya beritahu tentang siapakah orang yang diharapkan masuk neraka atau kepada siapakah neraka itu diharamkan memakannya? Neraka itu diharamkan untuk orang yang dekat pada orang banyak -yakni baik dalam bergaul-, lemah lembut, berhati tenang -tidak gegabah dalam menghadapi sesuatu- serta bersikap mudah -yakni gampang dimintai pertolongan-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

Bab 73. Bagusnya Budi Pekerti

Allah Ta'ala berfirman: "Dan sesungguhnya engkau -hai Muhammad- adalah memiliki budi pekerti yang luhur." (al-Qalam: 4)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan suka pula memaafkan kepada orang banyak," sampai habisnya ayat. (Ali-Imran: 134)

619. Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. itu adalah sebaik-baik manusia dalam hal budi pekertinya." (Muttafaq 'alaih)

620. Dari Anas r.a. pula, katanya: "Saya tidak pernah memegang suatu sutera tebal ataupun sutera tipis yang rasanya lebih halus daripada tapak tangan Rasulullah s.a.w. Saya juga tidak pernah mencium satu bau-bauanpun yang lebih harum daripada bau Rasulullah s.a.w. Saya telah melayani Rasulullah s.a.w. selama sepuluh tahun, maka beliau sama sekali tidak pernah mengucapkan "cis" pada saya, juga tidak pernah bersabda: "Mengapa engkau lakukan itu," untuk sesuatu yang saya lakukan, atau bersabda: "Alangkah baiknya kalau engkau melakukan begini," untuk sesuatu yang tidak saya lakukan." (Muttafaq 'alaih)

621. Dari as-Sha'bu bin Jatstsamah r.a., katanya: "Saya pernah memberikan hadiah kepada Rasulullah s.a.w. berupa seekor keledai liar, kemudian beliau s.a.w. mengembalikannya pada saya. Setelah beliau melihat kecemasan yang tampak di mukaku, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Kita tidak mengembalikannya itu padamu, melainkan karena kita ini sedang melakukan ihram." (Muttafaq 'alaih)

622. Dari an-Nawwas bin Sam'an r.a., katanya: "Saya bertanya kepada Rasulullah s.a.w. perihal kebajikan dan dosa. Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Kebajikan itu ialah baiknya budi pekerti dan dosa itu ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam dada -yakni hati- dan engkau tidak suka kalau hal itu diketahui oleh orang banyak." (Riwayat Muslim)

623. Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. itu bukan seorang yang kotor -baik kata-katanya atau tindakannya- dan tidak pula seorang yang bersengaja hendak berbuat kekotoran -baik kata-kata atau tindakannya-." Beliau s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya termasuk dalam golongan orang-orang yang terpilih diantara engkau semua adalah orang yang terbaik budi pekertinya." (Muttafaq 'alaih)

624. Dari Abu darda' r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amalannya seorang mu'min besok pada hari kiamat daripada baiknya budi pekerti dan sesungguhnya Allah itu membenci kepada seorang yang kotor serta rendah kata-katanya -yakni yang senantiasa memperbincangkan kemesuman, kejahatan dan lain-lain." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits shahih.

625. Dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya tentang apakah sebagian besar amalan yang memasukkan para manusia itu dalam syurga. Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu bertaqwa kepada Allah dan bagusnya budi pekerti." Beliau ditanya pula tentang apakah sebagian besar amalan yang memasukkan para manusia dalam neraka. Beliau menjawab: "Yaitu karena perbuatan mulut dan kemaluan." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

626. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesempurna-sempurnanya kaum mu'minin dalam hal keimanannya ialah yang terbaik budi pekertinya diantara mereka itu sedang orang-orang yang pilihan diantara engkau semua itu ialah yang terbaik hubungan -pergaulannya- dengan istri-istrinya." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih.

627. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Saya mendengar Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya seorang mu'min itu dapat mencapai derajatnya seorang yang berpuasa -pada siang harinya- dan berdiri bershalat -pada malam harinya- dengan sebab kebaikan budi pekertinya itu." (Riwayat Abu Dawud)

628. Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya adalah seorang yang memberikan jaminan untuk memperoleh sebuah rumah dalam halaman syurga bagi seorang yang meninggalkan memberikan bantahan, sekalipun ia merasa dalam kebenaran -apa yang dibantahnya itu-, juga sebuah rumah di tengah syurga bagi seorang yang meninggalkan dusta, sekalipun dengan maksud bersenda gurau, demikian pula sebuah rumah di tanah tinggi syurga bagi seorang yang memperbaiki budi pekertinya." hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad shahih. Azza'im artinya seorang yang memberikan jaminan. Makna aslinya ialah pemimpin.


629. Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya termasuk golongan orang yang paling saya cintai diantara engkau semua serta yang terdekat kedudukannya dengan saya pada hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya diantara engkau semua itu, dan sesungguhnya termasuk golongan orang yang paling saya benci diantara engkau semua serta yang terjauh kedudukannya dengan saya pada hari kiamat ialah orang-orang yang banyak berbicara, sombong bicaranya serta merasa tinggi apa yang dipercakapkannya itu -karena kecongkakannya-." Para sahabat berkata: "Ya Rasulullah, kita semua telah mengerti apa arti orang yang banyak bicara serta orang yang sombong bicaranya. Tetapi apakah yang dimaksud mutafaihiq itu." Beliau s.a.w. menjawab: "Mereka itu ialah orang-orang yang sombong -merasa tinggi isi pembicaraannya-." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan. Atstsartsar ialah orang yang banyak bicaranya secara dipaksa-paksakan sendiri. Almutasyaddiq ialah orang yang berlagak sombong kepada orang banyak dengan kata-katanya dan kalau berbicara itu serasa penuh isi mulutnya karena hendak memfasih-fasihkan serta mengagung-agungkan pembicaraannya sendiri itu. Adapun Almutafaihiq asalnya dari kata fahq, yaitu membuat penuh isi mulut dengan percakapannya serta meluas-luaskan apa yang dibicarakannya, bahkan merasa asing -bangga- dengan kata-katanya karena ketakabburan serta perasaan tingginya dan menampakkan bahwa dirinya adalah lebih utama dari orang lain. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah dalam menafsiri arti "bagusnya budi pekerti", ia mengatakan: "Bagusnya budi pekerti ialah manisnya wajah, memberikan kebaikan dan menahan kejahatan."

Bab 72. Haramnya Bersikap Sombong Dan Merasa Heran -Bangga- Pada Diri Sendiri

Allah Ta'ala berfirman: "Perumahan akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak hendak berbuat sewenang-wenang di bumi dan tidak hendak melakukan kerusakan, sedang kesudahan -yang baik- adalah untuk orang-orang yang bertaqwa." (al-Qashash: 83)

Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong." (al-Isra': 37)

Allah Ta'ala berfirman lagi: "Janganlah engkau memalingkan muka dan para manusia sebab kesombongan dan janganlah berjalan di bumi dengan takabbur, sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada setiap orang yang sombong dan membanggakan diri." (Luqman: 18) Makna tusha'-'ir khaddaka ialah engkau membuang muka atau memalingkannya dari orang banyak karena berlagak sombong kepada mereka itu, sedang almarah atau maraha ialah kesombongan atau takabbur.

Allah Ta'ala juga berfirman: "Sesungguhnya Qarun itu termasuk dalam golongan kaumnya Musa, tetapi ia melakukan aniaya kepada mereka. Kami memberikan kepadanya gedung simpanan kekayaan yang anak kuncinya saja berat dipikul oleh sekumpulan orang yang kuat. Perhatikanlah ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah engkau bergembira -melampaui batas-, sesungguhnya Allah itu tidak senang kepada orang yang bergembira -secara melampaui batas- itu," sehingga firmanNya: "Kemudian ia dan rumahnya Kami benamkan ke dalam tanah," sampai akhirnya ayat-ayat itu.

610. Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidak dapat masuk syurga seorang yang dalam hatinya ada sifat kesombongannya seberat debu." Kemudian ada orang berkata: "Sesungguhnya seorang itu ada yang senang jikalau pakaiannya itu baik dan terompah -sandal-nyapun -sandalnya- baik." Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan menghinakan orang banyak." (Riwayat Muslim) Batharulhaqqi ialah menolak kebenaran dan mengembalikannya kepada orang yang mengucapkannya itu -yakni memberikan bantahan pada kebenaran tadi-, sedang ghamthunnasi ialah menghinakan para manusia.

611. Dari Salamah bin al-Akwa' r.a. bahwasanya ada seorang lelaki makan di sisi Rasulullah s.a.w. dengan menggunakan tangan kirinya, lalu beliau s.a.w. bersabda: "Makanlah dengan menggunakan tangan kananmu." Orang itu berkata: "Saya tidak dapat makan sedemikian itu." Beliau s.a.w. bersabda: "Tidak dapat engkau?" Ia berbuat sedemikian itu tidak ada yang mendorongnya, melainkan kesombongannya juga. Salamah berkata: "Orang itu akhirnya benar-benar tidak dapat mengangkat tangan kanannya ke mulutnya," -yakni tangannya terus cacat untuk selama-lamanya, sebab tidak dapat digunakan apa-apa-. (Riwayat Muslim)

612. Dari Haritsah bin Wahab r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidaklah saya memberitahukan padamu semua, siapakah ahli neraka itu? Mereka itu ialah orang yang keras kepala, suka mengumpulkan harta tetapi enggan membelanjakannya -untuk kebaikan- lagi bersikap sombong." (Muttafaq 'alaih)

Keterangan hadits ini telah diuraikan dalam bab Golongan orang-orang lemah dari kaum Muslimin -lihat Hadis no.252-.

613. Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Syurga dan neraka berbantah-bantahan. Neraka berkata: "Di tempatku ada orang-orang yang gagah-gagah -suka menekankan kemauannya pada orang banyak- lagi orang-orang yang sombong." Syurga berkata: "Di tempatku adalah orang-orang yang lemah dan kaum miskin." Allah kemudian memberikan keputusan antara kedua makhluk ini, firmanNya: "Sesungguhnya engkau syurga adalah kerahmatanKu dan denganmulah Aku merahmati siapa saja yang Kukehendaki, sedang sesungguhnya engkau neraka adalah siksaKu yang denganmulah Aku menyiksa siapa saja yang Kukehendaki. Masing-masing dari keduamu itu atas tanggunganKulah perkara isinya." (Riwayat Muslim)

614. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti kepada seorang yang menarik sarungnya -yakni memanjangkan pakaiannya sampai ke bawah kaki- dengan tujuan kesombongan." (Muttafaq 'alaih)

615. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Ada tiga macam orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak pula menganggap mereka sebagai orang bersih -dari dosa-, juga tidak hendak melihat mereka itu dan bahkan mereka akan memperoleh siksa yang pedih sekali, yaitu orang tua yang berzina, raja -kepala negara- yang suka membohong -menipu rakyatnya- dan orang miskin yang sombong." (Riwayat Muslim)

616. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah 'Azzawajalla berfirman -dalam hadits Qudsi-: "Kemuliaan adalah sarungKu dan kesombongan adalah selendangKu. Maka barangsiapa yang mencabut salah satu dari kedua pakaianKu itu, maka pastilah Aku menyiksa padanya," artinya mencabut ialah merasa dirinya paling mulia atau berlagak sombong. (Riwayat Muslim)

617. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang berjalan dengan mengenakan pakaian yang merasa heran -bangga- dengan dirinya sendiri, ia menyisir rapi-rapi akan rambutnya lagi pula berlagak sombong di waktu berjalan, tiba-tiba Allah membenamkannya, maka ia tenggelamlah dalam bumi hingga besok hari kiamat." (Muttafaq 'alaih)


618. Dari Salamah bin al-Akwa' r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidak henti-hentinya seorang itu menyombongkan dirinya sehingga dicatatlah ia dalam golongan orang-orang yang congkak, maka akan mengenai pada orang itu bahaya yang juga mengenai golongan manusia-manusia yang congkak." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan. Yadz-habu binafsihi artinya merasa dirinya tinggi dan juga berlaku sombong.